Selasa, 29 Juni 2010

Soal Dana Aspirasi, PD Tidak Tinggalkan Golkar


Jakarta - Gagasan dana aspirasi DPR kepada konstituen di daerah terus memancing reaksi. Di parlemen silang pendapat juga bermunculan termasuk di antara partai pengusung usulan itu.

Kini, praktis Partai Golkar sendiri memperjuangkan gagasan yang diklaim untuk kesejahteraan rakyat itu. Padahal, ide dasar gagasan ini muncul kali pertama oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat. Bedanya, Partai Golkar menyebut angka Rp15 miliar per dapil per anggota, Partai Demokrat tidak menyebut angka.“Idenya bagus, cuma cara penyampaiannya keliru,” cetus Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi kepada R Ferdian Andi R dari INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta, Senin (7/6). Berikut wawancara lengkapnya:

Bagaimana sikap Partai Demokrat atas usulan dana aspriasi kepada konstituen, bukankah sejak awal PD juga mengusulkan, tapi mengapa saat ini sepertinya menarik diri?

Gagasan itu bagus, idenya bagus cuma cara penyampaiannya keliru. Jadi memang anggota DPR punya hak memberikan usulan tapi salahnya menyebut angka. Mekanisme belum dibuat, aturan belum dibuat tetapi angka sudah muncul. Menurut kami, aturan dulu dibuat, baru dirapatkan. Kita buat rapat komisi, barulah ditentukan berapa angkanya sesuai kebutuhan daerah yang pijakannya hasil Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) daerah dan data daerah tertinggal. Kalau itu dijalankan, itu bagus ada pemerataan pembangunan. Kalau aturan tidak sesuai dengan UU, bayangkan bagaimana presiden, Menkeu, bupati termasuk DPR akan kena jerat KPK. Bikin dulu aturan mainnya baru berbicara angka.

Memang seperti apa praktik saat ini dalam konteks pembangunan di daerah?

Tidak seperti sekarang, beberapa kabupaten tahu-tahu sudah muncul angka anggarannya, ini kan karena ada calo-calo anggaran di DPR. Kalau sistem ini dilakukan calo-calo ini akan hilang. Hanya wakil rakyat yang berhubungan dengan daerah pemilihannya. Fungsi budgeting bukan implementator, tapi kalau kata kuncinya wakil rakyat memperjuangkan dengan cara pemerataan anggaran itu harus didukung, Selama ini kabupaten yang tidak pernah diusulkan, mereka tidak dapat anggaran, kan kasihan. 









Sumber : Inilah.com

Menyongsong Gubernur BI

Menyongsong Gubernur BI
Oleh Achsanul Qosasi


Posisi Gubernur Bank Indonesia (BI) sudah kosong sekitar setahun dan harus segera diisi secara definitif, bukan sekedar pelimpahan tugas (pejabat sementara). Prosesnya pun harus melalui uji kepatutan (fit and proper test) DPR RI. Yang menarik untuk kita soroti, haruskah kandidat Gubernur BI orang “dalam”? Dan lebih krusial lagi, mampukah uji kapatutan ini menghadirkan Gubernur BI yang mampu  menjawab tantangan internal dan ekternal yang memang memerlukan tanggung jawab dan komitmen besar untuk sebuah agenda pembangunan ekonomi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat?

Seperti informasi yang telah tersebar luas, kandidat Gubernur BI yang diajukan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ke DPR RI itu tunggal (Darmin Nasution) dan dari dalam institusi BI. Sejumlah pihak yang tak sependapat menilai minus atas ketunggalannnya dengan dalih tiadanya alternatif, fait accompli terhadap DPR dan karenanya tidak demokratis. Bisa kita maklumi penilaian itu. Namun, calon tunggal juga mengandung sejumlah nilai positif, yaitu – pertama – mencegah rivalitas yang justru berpotensi membangun persaingan tidak sehat, kemudian dijadikan lahan gratifikasi. Secara sosiologis, pengajuan calon tunggal akan mampu menghindarkan praktik aji mumpung (carpedium) yang bersifat eksploitatif bagi oknum tim penguji. Jika mumpungisme ini dibiarkan, maka yang rugi jelas: oknum tim penguji kepatutan – sangat mungkin – akan berhadapan proses hukum. Maka, pengajuan kandidat tunggal sesungguhnya merefleksikan komitmen penegakan hukum yang bersifat preventif. Kedua – sejalan dengan sang  kandidat dari dalam BI – hal ini mengandung prinsip maksimalisasi proses yang efisien dan lebih fokus bagi tim penguji untuk melihat lebih jauh kapasitas, komitmen dan integritas sang kandidat.

Seperti kita ketahui bersama, BI saat ini – diakui atau tidak – masih diperhadapkan krisis internal yang cukup serius, di samping persoalan eksternal. Dari sisi internal – berkaca pada kasus Bank Century, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang sinyal ketidakdisiplinan (penyalahgunaan wewenang), sehingga tampak membiarkan data sebuah bank seperti Bank Century yang jelas-jelas “sakit” tetap bertahan beroperasi. Kebertahanan operasi Bank Century tidak akan pernah terjadi jika pejabat terkait fungsi pengawasan tidak terkecoh oleh gerakan kolusi yang terbangun dengan pihak pengelola dan pemilik Bank Century itu. Harus jujur kita catat, Pak Boediono yang tercatat bersih itu, saat menjabat Gubernur BI tampak “termainkan” oleh jajaran di bawahnya, sehingga data “busuk” Century tidak sampai ke tangan beliau dengan jelas. Akibat “main mata” yang terjadi, Gubernur BI selaku “komandan” tertinggi di lembaga otoritas moneter itu benar-benar terkena badai.

Menggaris-bawahi kasus Bank Century itu, kini ada kebutuhan mendesak bahwa kandidat Gubernur BI – secara konsepsional-operasional dan mental – harus mampu memimpin dan diterima di lingkungan internalnya. Akseptabilitas ini akan menumbuhkan kewibawaan tersendiri, sehingga jajarannya loyal, disiplin dalam bekerja, juga tidak berani “neko-neko” (bersekongkol) dengan pihak manapun. Untuk mencapai mentalitas kerja seperti ini, maka ada kebutuhan urgen dalam pemilihan Gubernur BI saat itu: ia haruslah seorang figur pemimpin. Masalah kepemimpinan di tengah BI saat ini sungguh diperlukan. Ia bukan hanya mumpuni pengetahuan teknis operasional dunia perbankan dan sistem moneter, tapi ia juga disegani seluruh komponen institusinya.

Kepemimpinan yang efektif akan memudahkan Gubernur menginstuksikan apapun yang dikehendaki sepanjang terkait dengan urusan tugas. Dan yang lebih krusial adalah instruksi khususnya terkait pembenahan moralitas atau kedisiplinan kerja. Perlu kita catat, aspek ini kini menjadi garda bagaimana mengkonstruksi BI ke depan yang jauh lebih nasionalis: mengedepankan kepentingan bangsa-negara. Refleksinya, ia – sebagai pemimpin – dituntut untuk ikut menunjang pembangunan sistem moneter yang mampu mendorong ekonomi sektor sektor riil. Di sisi lain – dengan kekuasaan instruktifnya – Gubernur BI harus memberikan sikap jelas kepada suluruh perbankan agar memfasilitasi gerakan ekonomi sektor riil untuk semua level, terutama menengah ke bawah.

Ketegasan itu pun harus ditunjukkan kepada bank-bank asing dalam kerangka ikut mempercepat upaya dan proses dan penumbuhan ekonomi sektor riil. Perizinan yang diberikannya – jika perlu – ditinjau ulang. Arahnya, bank-bank asing jangan hanya mengeruk keuntungan dari jasa-jasa transaksionalnya tanpa memberikan efek positif terhadap pengembangan ekonomi di tanah air, terutama sektor riil. Sekali lagi, dengan otoritasnya selaku Gubernur BI, sikap tegas terhadap bank-bank asing akan menambah kekuatan sinergis terhadap bank-bank nasional (swasta atau milik pemerintah) untuk misi penyejahteraan rakyat. Obsesi besar ini tak akan terwujud jika jatidiri Gubernur BI tak berpengaruh di mata bank-bank nasional, apalagi bank asing.

Di sisi lain, Gubernur BI mendatang juga harus berhadapan dengan arus kuat internal BI. Seperti kita ketahui, saat ini sedang digodok lembaga pengawasan yang idealnya terpisah dari institusi BI. Salah satu fungsinya – yakni pengawasan – dipisahkan. Dan BI dirancang untuk lebih konsentrasi pada upaya membangun stabilitas moneter. Urusan teknis pengawasan perbankan tidak lagi dalam otoritasnya, tapi diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus kita catat, proposal ini cenderung ditampik oleh orang-orang BI.

Kondisi itu menggambarkan adanya situasi internal BI yang sesungguhnya resisten terhadap proposal pemisahan fungsi pengawasan itu. Lalu, bagaimana Gubernur baru BI nanti mampu menghadapi arus kuat yang cenderung mempertahankan fungsi pengawasan, sementara itu, tim fit and proper test DPR lebih menghendaki pemisahan itu? Jika sang kandidat tidak sejalan dengan cara pandang DPR RI, maka ia berpotensi gagal (calon tunggal ditolak). Atau, jika ia berpura-pura sejalan dengan sikap DPR, tapi di kemudian hari “balik badan” (tetap mempertahankan fungsi pengawasan dalam BI), maka hari-hari berikutnya sang Gubernur BI akan bermasalah dengan lembaga legislatif. Di sini, tim uji kepatutan pun dituntut kejeliannya untuk melihat gelagat yang responsif terhadap keinginan kuat Dewan untuk pemisahan fungsi pengawasan, atau hanya berstrategi.

Sementara itu – dalam masa yang relatif bersamaan – ada tuntutan eksternal yang tak kalah seriusnya. Seperti kita ketahui bersama, beberapa pekan lalu tergulir gagasan untuk memberlakukan mata uang bersama ASEAN. Atas nama dan atau kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dari kawasan Asia Tenggara ini, maka gagasan itu sungguh ditunggu realisasinya. Konsekuensinya, Gubernur BI harus mempunyai wawasan yang mumpuni bagaimana ikut mengkonstruksi sistem moneter regional. Dan kemampuan ini pun perlu ditunjang dengan akseptabilitas dirinya di mata para gubernur-gubernur bank sentral negara-negara ASEAN. Ini berarti, sang kandidat Gubernur BI saat ini juga haruslah punya kemampuan lobi dan seni meyakinkan orang lain.

Kini, sejalan dengan Pak Darmin Nasution orang dalam BI, sesungguhnya ia telah mengantongi sejumlah modalitas. Di luar kapasitasnya yang terkait dengan teknis-operasional dan wawasan seputar moneter dan fiskal, ia tak perlu lebih jauh mengadaptasi diri dengan lingkungan sejawatnya. Akseptabilitas yang cepat di lingkungan internalnya akan berpengaruh untuk mempercepat upaya pembenahan kinerja. Soliditas ini sungguh merupakan modalitas yang bermakna positif. Kiranya tidaklah berlebihan jika modalitas yang tergenggam ini akan mampu melakukan peran konstruktif lebih jauh ketika harus ikut bergerak dalam upaya pembangunan mata uang bersama ASEAN yang sudah diimpikan itu.

Akhirnya, Gubernur BI mendatang – secara paralel – harus mampu menjawab dua persoalan krusial saat ini: lingkungan internal BI yang jauh lebnih terkelola dengan baik dan dinamika eksternal yang semuanya harus direspons secara konstruktif. Responsivitas merupakan kata kunci bagi Gubernur BI agar negeri ini tidak mudah terseok-seok sistem moneternya, meski harus berhadapan kekuatan para fund manager dunia yang sangat tricky. Juga, agar regulasinya mampu memperbaiki kondisi perekonomian nasional yang mencerahkan untuk bangsa dan negara. Inilah potret Gubernur BI yang kita songsong.

Jakarta, 3 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Rabu, 09 Juni 2010

Pilkada Sumenep: Mencegah Bayang-bayang Destruksi

Pilkada Sumenep:
Mencegah Bayang-bayang Destruksi
Oleh Achsanul Qosasi

Mencari pemimpin yang terpercaya (credible) agar tercipta perubahan yang jauh lebih baik untuk kemakmuran rakyat. Itulah idealitas pilkada langsung di tengah Kabupaten Sumenep pada 14 Juni mendatang. Akan tercapaikah idealitas itu? Atau justru destruksi di mana-mana, sehingga mengakibatkan kesengsaraan dan atau kemelaratan? Lalu, untuk apa perhelatan pilkada langsung di tengah Sumenep yang menelan biaya sekitar Rp 20 milyar itu?

Kita tentu tidak boleh pesimis sebelum melangkah. Biaya pilkada langsung yang terkategori tinggi adalah konsekensi logis dari menjalankan prinsip demokrasi. Sebuah prinsip memahami kemauan publik dan konstitusi. Kita perlu mencatat, secara konseptual, tokoh terpilih secara demokratis, apalagi  kualitas tokohnya sesuai persyaratan dasar, ia bisa diharapkan untuk membangun kemakmuran masyarakat dan daerahnya. Namun demikian, konsep dasar demokrasi ini tidak selamanya berjalan linier dengan harapan dan kenyataan. Fakta sosial-politik sering menunjukkan, pasca pilkada langsung, suhu politiknya justru kian memanas. Aksi massa yang kandidatnya kalah bukan hanya menterjemahkan kekecewaannya secara sehat seperti demo arak-arakan ke jalan atau di manapun dan tertib, tapi tak sedikit melakukan sejumlah tindakan anarkis: pembakaran sarana dan prasarana kantor penyelenggara pemilu (KPU), bahkan kediaman sang kandidat pemenang. Ketegangan itu pun kadang menelan waktu berminggu-minggu dan dalam teritorial yang relatif tak terbatas. Diawali dari sekitar wilayah penentu hasil pilkada (KPU) Semenep, menjalar ke KPU Jatim, KPU Jakarta, sampai Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta. Memang, jumlah partisipan dari masing-masing etape tidak akan sebesar ketika mereka berlaga di sekitar Sumenep itu sendiri.

Pemandangan tersebut itu jelaslah mengancam kepentingan sosial-politik bahkan ekonomi masyarakat. Masyarakat partisipan politik (para pemilih) – hanya karena stadium politik yang meninggi itu – harus menghentikan sjeumlah kegiatannya. Dari sisi sosial, ia atau mereka tak berani melewati batas atau wilayah yang dinilai menjadi kantong lawan. Ada pemutusan paksa dalam interaksi sosial akibat pilihan politik yang berbeda. Dari sisi ekonomi, di antara mereka pun dibayang-bayangi rasa takut dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Bukan tak mungkin – sekalipun hal ini bisa dinilai berlebihan – masyarakat di luar Sumenep pun bisa terancam kegiatan sosial-ekonominya karena sikap membabi-buta sebagian masyarakat yang kalap itu.

Kini kita perlu menerawang, bagaimana potensi bayang-bayang destruksi itu? Jika kita analisis karakter lokal masyakat Madura, kiranya tidaklah berlebihan jika muncul opini bahwa ancaman itu sungguh besar dan potensial terjadi. Analisa ini bisa diperkuat dengan kecenderungan kuat para kandidat yang punya basis massa besar dan fanatik, terutama dari dari unsur Nahdlyyin.

Kita perlu mencatat, massa akar rumput (grass-root) sanga tergantung dari para elitnya. Sepanjang para elitnya kian “mengipas” atas ketidakrelaannya menerima realitas kekalahan, maka massa bawah akan semakin ganas. Dan kita perlu catat, karakter masyarakat Madura pada umumnya siap mempertaruhkan darah bahkan nyawa jika dirinya merasa terlecehkan harga dirinya, termasuk kalah bersaing dalam pilkada. Semua ini kian membulatkan gambaran destruksi siap melanda Sumenep pasca pilkada pertama itu dalam kualitas – sangat bisa jadi – mengerikan.

Tak mungkinkah dicegah? Jawabnya, mengapa tidak. Dalam hal ini, kata kunci pencegah yang sangat rasional adalah menciptakan kesadaran para elit (kandidat dan para tim khususnya) agar bersikap legowo ketika melihat realitas kekalahan. Bahwa, dalam proses politik terdapat sejumlah “titik lemah” dan kadang dituding kecurangan, bawalah kasusnya ke ranah hukum, bukan anarkisme. Janganlah eksploitasi pendukungnya untuk memaksakan kehendak dengan pendekatan politik itu sendiri. Jika salurannya politik, maka tak akan pernah ada penyelesaian.

“Siap menang dan siap kalah” memang sudah dideklarasikan seluruh kandidat pilkada Sumenep. Tapi, kesepekatan politik – dalam perjalanan faktual – sering tidak ditaati. Seolah deklarasi itu hanyalah hiasan politik pilkada yang terjamin suasana damainya. Manis di awal. Kini, yang sangat urgen untuk dijaga adalah bagaimana mempertahankan konsistensi para kandidat atas kesepakatan itu, terutama “siap kalah”.

Barangkali, perlu dipikirkan secara hukum yang jernih, bagaimana menyikapi “ulah” kandidat dan timnya yang terus mengusik akibat kekalahannya? Dengan dalih bahwa gerakannya mendesruksikan sejumlah sarana dan prasarana bahkan berpotensi mengganggu kepentingan sosial-politik dan ekonomi masyarakat Sumenep, kiranya harus ada tindakan jelas secara hukum. Barangkali, inilah salah instrumen yang berpotensi dapat mencegah bayang-bayang destruksi di tengah Sumenep. Sebuah konsep pencegahan demi ketenangan warga dan daerah tercinta.

Jakarta, 26 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Senin, 07 Juni 2010

Pilkada Sumenep: Problem Hak Demokrasi

Pilkada Sumenep:
Problem Hak Demokrasi
Oleh Achsanul Qosasi

Terdapat empat pasangan dari unsur partai dan empat pasangan lagi dari unsur indepnden. Itulah keikutsertaan kontestan pilkada langsung untuk kepemimpinan di Kaupaten Sumenep. Yang menarik untuk diulas lebih jauh, akankah terjadi pemasungan hak berdemokrasi?

Pertanyaan tersebut layak kita lontarkan sejalan dengan gelagat “peringatan dari elitis partai yang akan menindak kadernya jika ketahuan nyeberang ke kandidat dari partai lain”.

Dalam sistem kepartaian, menyeberang adalah tindakan ketidakloyalan. Implikasi dari sikap politiknya bukan hanya berdampak pada kegagalan sang kandidat dari partai yang mengusungnya, tapi – pada akhirnya – berpegaruh negatif-destruktif partai. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul sikap politik para elitis partai yang menekankan para kadernya mendukung dan memberikan suaranya kepada kandidat yang memang diusung partainya. Inilah salah satu sikap politik yang pernah dilontarkan salah satu kandidat bupati-wakil bupati Kabupaten Sumenep yang siap digelar pada 14 Juni mendatang.

Yang menjadi persoalan, sang kader – apalagi keluarganya – juga punya hak demokrasi tersendiri. Meski sebagai orang partai tetap loyal, tetapi – secara pribadi – sangat boleh jadi “tidak sejalan” dengan cara pandang dan visi-misi kandidat yang kebetulan tampil dari partai yang sama. Ketika dirinya sadar akan sejumlah titik lemahnya, apakah – atas nama loyalitas terhadap partai – ia harus tunduk kepada kemauan sang elit?

Dilematis memang. Meski demikian, prinsip demokrasi mengajarkan komitmen: memberikan dukungan sesuai hati nuraninya karena pertimbangan bahwa tokoh yang akan dipilihnya memang memenui persyaratan dasar selaku pemimpin. Jika tidak tapi memaksakan diri, sama artinya menjeblosan dirinya ke lubang yang sudah diprediksikan sebelumnya. Kesadaran inilah yang mendorongnya harus berani bersikap: terpaksa memilih kandidat yang memang dinilai mumpuni, dari manapun partainya. Inilah netralitas sikap politik yang dikonstruksi demokrasi. Dari prinsip demokrasi itu sendiri, harusnya para elitis partai – meski dirinya sebagai kandidat – tidak boleh memaksakan kehendaknya. Dengan demikian, demokrasi janganlah diartikan sebagai sistem yang mengabsahkan proses politik yang sesunguhnya bernuansa pemaksaan kehendak. Bagaimanapun, dikatorisme dalam bentuk apapun dan sekecil apapun kadarnya tidak ditolelir dalam sistem demokrasi. Seluruh prosesnya diserahkan kepada mekanisme alamiah. Meski ada upaya untuk mendapatkan target politik yang dikehandaki, tetap semuanya dirancang dengan menghargai hak-hak individual.

Dengan sikap menghargai, maka demokrasi sesungguhnya mengajarkan kita untuk – secara sportif – mengajukan kandidatnya dengan sejumlah pertimbangan. Di antaranya, ia memang mumpuni untuk memimpin rakyatnya. Juga, tercatat amanah dan punya komitmen kuat untuk membangun wilayah dan masyarakatnya yang harus lebih baik.

Dengan persyarakat dasar itu, pemimpin yang ikut serta dalam pentas pilkada harusnya jelas visi-misinya dan berkarakter konstruktif dan senantiasa responsif terhadap dinamika yang terus berlangsung di masyarakatnya. Pemimpin yang kita kehendaki saat ini – secara sadar – haruslah menjauhkan diri dari sikap eksploitatif dari unsur-unsur yang bernuansa primordialistik, baik berkarater kaeagamaan ataupun ketokohan kharimatiknya.

Pendayagunaan kedua unsur tersebut sah saja dalam gugus berdemokrasi. Tapi, untuk dan atas nama kepentingan rakyat, maka yang jauh lebih esensial dan harus diperjuangkan adalah program-program yang nemang solutif bagi kepentingan rakyat. Keberadaan dan peran program merupakan komitmen jelas untuk mengubah sketsa sosial-ekonomi dan lainnya yang jauh lebih manusiawi dan bermartabat. Dengan demikian, pendekatan program merupakan upaya sistimatis untuk melepaskan “jeritan” sosial-ekonomi yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab sang kepala daerah selama ini.

Kini, bagaimana tugas dan atau kewajiban itu harus dipikul sang pemimpin baru? Tak ada jawaban lain: publik harus cerdas membidik calon pemimpin yang tidak hanya obral janji, yang tidak hanya mengeksploitir unsur primordialisme dan atau kharisma ketokohan. Publik perlu agenda aksi nyata untuk membangun Sumenep yang lebih bercahaya. Karenanya, cerdaslah dalam menentukan sikap politiknya. Janganla terkontaminasi untuk menentukan sikap politiknya hanya karena masalah loyalitas kepartaian. Yang jauh leih penting, apa yang harus kita berikan untuk negeri ini (Kabupaten Sumenep). Inilah sikap politik demokratisnya, yang tentu tidak boleh dipasung. Sebuah refleksi yang menjunjung tinggi hak-hak demokrasi setiap individu
Jakarta, 23 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Kamis, 03 Juni 2010

Pilkada Sumenep : Makna Konstruktif Kedewasaan NU

Pilkada Sumenep:
Makna Konstruktif Kedewasaan NU
Oleh Achsanul Qosasi

Banyak kandidat bupati-wakil bupati berunsur Nadhatul Ulama (NU). Setidaknya, itulah yang terlihat dari mereka yang berangkat dari kendaraan Partai Kebangkitan Bangsa (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan dari kendaraan politik lainnya, meski bernuansa nasionalis seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Parati Amanat Rakyat (PAN). Kondisinya, memang seluruh kandidat itu berangkat dari basis kultural-keagamaan NU.

Kehadiran mereka – di satu sisi – menggambarkan potensi kepemimpinannya untuk memasuki blantika politik kekuasaan (khilafah) dan tentu positif maknanya. Tapi – dan hal ini menjadi keprihatinan tersendiri –, bagaimana nasib masyarakat akar rumput (grass-root) yang berbasis NU itu? Variabel ini menjadi penting untuk dilontarkan lebih jauh sejalan dengan sejumlah kandidatnya memang “berdada” NU. Sebuah konsekuensi langsung yang tak bisa diabaikan adalah masyarakat Nahdliyyin selaku pemilih akan diperhadapkan beberapa kandidat, terutama yang berbendera NU itu. Dalam hal ini akan berlaku prinsip sampai seberapa besar pengaruh sang kandidat NU terhadap basis massanya. Jawabannya sangat tergantung dari ketokohan sang kandidat selama ini. Semakin kuat modalitas sosialnya yang telah terbangun jauh sebelumnya, ia punya peluang untuk mendapatkan pengaruh yang lebih kuat. Peta sosial ini sangat mungkin berbeda antara kandidat yang satu dengan kandidat lainnya. Tapi, bukan tak mungkin, tingkat pengaruhnya relatif berimbang di antara mereka, meski berbda-beda titik keunggulannya.

Di sanalah kita bakal menyaksikan panggung kompetisi antarkandidat NU itu sendiri. Sangat bisa jadi, arahnya saling menyudutkan. Setidaknya, “perang” opini atau citra yang dibangun justru akan membuat masyarakat pemilih NU bingung: mau ke manakah harus berpihak atau menentukan sikap politiknya. Ketika situasi psikologis ini tampak mengambang, maka seluruh tim sukses ditantang bagaimana menggiringnya agar memilih kandidat yang diusungnya. Sikap seperti ini pasti terjadi pada setiap tim sukses. Di sanalah kita saksikan potensi atau benih-benih konflik antar keluarga besar NU. Setidaknya, massa NU dipecah sedemikian rupa karena kepentingan taktis kandidat dan tim suksesnya.

Seuah sketsa politik yang tampak dekat terjadi adalah kemungkinan perpecahan di antara keluarga besar NU itu sendiri. Sketsa politik ini sungguh memprihatinkan. Hanya karena kepentingan pilkada, masyarakat harus menjadi korban. Yang perlu kita garis-bawahi, bagaimana membangun “puing-puing” sosial pasca plikada itu? Tidak mudah. Sebab, dengan karakter masyarakat Madura yang keras – termasuk di Sumenep tentunya – maka kualitas kehancuran puing bisa serius. Hal ini harus disadari oleh seluruh jajaran, mulai dari tingkat elitis (pelaku pilkada), sampai ke tingkat keamanan dan ketetiban.

Pendekatan tersebut tak bisa dipisahkan dari sistem penyelenggaraan pilkada di tengah Sumenep. Itulah sebabnya, Polres Sumenep pun jauh-jauh hari sudah menentuan skap”Siaga Satu” dengan menenpatkan 100 Brimob, yang ditebarkan ke lebih dari 100 tempat pemungutan suara (TPS) dari 2.877 TPS yang dinilai berpotensi rawan. Sekali lagi, apakah pendekatan kedisiplinan ini bisa diharapkan lebih jauh untuk menangkal potensi konflik horisontal yang terjadi saat atau pasca pilkada? Belum bisa menjamin. Dalam hal ini, kiranya ada satu instrumen yang bisa dimainkan secara elegan dan bisa diharapakan efektivitasnya. Yaitu, wadah organisasi NU dan seluruh pengurusnya di berbagai level (DPC dan ranting-rantingnya) bahkan ormas-ormas NU sayapnya yang otonom dari unsur muslimat, fatayat, pemuda dan kemahasiswaannya dapat mengambil peran konsruktif di tengah pilkada Sumenep.

Misi yang harus dibangun dengan nyata adalah menjaga netralitasnya, sekaligus berusaha semaksimal mungkin mencegah benturan-benturan fisikal bahkan gesekan psikologis. Sebagai para insan yang mengumandangkan perdamaian, inilah saatnya untuk membuktikan kepada publik di luar NU bahwa jatidiri Nahdliyyin benar-benar istiqamah untuk penegakan misi kemanusiaan. Inilah saatnya untuk buktikan bahwa NU punya harga diri dan tidak rela “melacurkan diri” untuk dan atas nama kepentingan pragmatis sesaat. Dalam kaitan ini, kiranya para pengurus NU harus mampu menjadi kawah candra di muka yang memegang teguh politik moralistik, sebuah prinsip politik yang mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam pilkada. Sekali lagi, mereka dapat menentukan peran yang jauh lebih elegan dalam hingar-bingar politik demokrasi yang kompetitif itu.

Peran politik NU seperti itu jelaslah memberikan kontribusi pendidikan politik yang sunguh berguna, bagi proses penumbuhan dan pengembangan demokrasi, atau lainnya yang jauh lebih esensial: keharmonisan hubungan antar keluarga besar Sumenep. Inilah makna konstruktif dari kedewasaan politik NU yang sungguh bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan masa depan pembangunan wilayah Sumenep itu sendiri. Luar biasa.

AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Rabu, 02 Juni 2010

Pilkada Sumenep: Momentum Pendidikan Politik Rasional

Pilkada Sumenep:
Momentum Pendidikan Politik Rasional
Oleh Achsanul Qosasi

Siap hadir pemimpin baru Kabupaten Sumenep. Itulah hasil pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) yang siap digelar pada 14 Juni mendatang. Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah sekedar memenuhi sistem politik (amanat UU) semata?

Tentu tidak boleh. Pilkada langsung pertama di tengah Sumenep yang menelan anggaran sekitar Rp 20 milyar harus dijadikan tonggak pembelajaran politik bagi seluruh komponen masyarakat Sumenep. Bukan sekedar tingkat partisipasi, tapi bagaimana membangun kualitas keikutsertaan publik dalam pentas demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini – minimal – ada dua persoalan mendasar yang tak bisa kita sangkal karena merupakan keprihatinan mendalam dalam setiap peristiwa proses politik demokratis. Pertama, tingkat elitis (kandidat dan timnya) yang cenderung a priori dalam memaksakan kehendaknya. Targetnya satu: harus menang. Kedua – dari sisi publik pemilih – memandang pentas demokrasi sebagai kesempatan untuk “memeras” kocek kandidat.

Sebuah implikasi dari kedua sikap itu adalah akan munculnya sejumlah aksi yang sesungguhnya memprihatinkan. Pertama – dari sisi kepentingan kandidat – akan menampak sikap jor-joran dalam menghamburkan peraga dan lain-lainnya. Masih terkategori wajar jika langkahnya hanya sebatas persuasif. Dapat dimklumi, karena proses politik pilkada langsung memang memerlukan solisit sosok kandidat. Tapi, satu hal yang sulit dihindari adalah kemungkinan sikap yang – harus kita catat – sebagai penoda demokrasi. Yaitu, kemungkinan permainan politik uang (money politics), meski dalam tingkat yang relatif terbatas (rendah).


Kita perlu mencatat, sekecil apapun tingkat “pembelian suara” itu menabrak UU, bahkan doktrin keagamaan kita. Pembelian suara tak ubahnya menyogok. Dan untaian hadis menegaskan, “Allah akan melaknat siapapun yang menyogok dan yang menerima sogokan”. Dari doktrin keagamaan ini, idealnya, pilkada langsung untuk memilih pemimpin baru Sumenep menjauhkan diri dari praktik-praktik nakal itu. Sebuah reungan, apakah kandidat dan atau timnya bisa bersikap teguh untuk memegang nilai-nilai konstruktif itu? Jawabannya kembali pada bagaimana motivasi kandidat dalam melangkah ke panggung kekuasaan. Jika ia berniat untuk “ibadah”, maka dirinya akan jalan sesuai prinsip atau koridor yang tentu tak akan rela menabrak rambu-rambu. Dengan niat itu pula ia – secara langsung atau tidak – tak akan larut para dinamika politik yang menggambarkan sikap masyarakat yang aji mumpung. Dalam hal ini sang kandidat harus mampu meyakinkan bahwa dirinya tak berani memberikan apapun yang bersifat material karena pemberiannya sama artinya akan menjebloskan dirinya pada posisi utang atau mencari sumber-sumber pendanaan lainnya. Jika hal ini terjadi, maka – setelah berhasil naik panggung – dirinya akan lebih memprioritaskan kewajiban untuk mengembalikan utang, atau memberikan fasilitas kepada para pihak yang telah “berjasa” pada dirinya. Akibatnya, kepentingan publik akan terabaikan. Sikap kekuasaan seperti ini tentu menyalahi amanat publik, UU bahkan keagamaan.

Sangat boleh jadi, pendekatan program itu terlalu ideal dan dinilai tidak rasional dalam pentas kompetisi. Dalam hal ini kiranya Panitia Pengawas (Panwas) harus mampu menegakkan disiplin aturan begaimana mengedepankan program sebagai proses politik yang diharapkan mampu mencerahkan kepentingan publik. Dengan pendekatan idealitas program, seluruh kandidat digiring untuk mengedepankannya. Mereka – secara keseluruhan – perlu menyadari urgensi program yang dapat memberikan makna konstruktif bagi kepentingan masyarakat. Apalah artinya santunan sesaat, tapi ke depannya justru meloyokan program.

Demi Sumenep yang lebih cerah (sejahtera), kiranya pendekatan program harus menjadi komitmen seluruh kandidat dalam menggapai kursi B-1 atau B-2 itu. Tanpa komitmen seperti ini, kiranya pilkada langsung di tengah Sumenep hanyalah sekedar menjalankan prinsip politik demokratis, tanpa menghasilkan karya besar sebagaimana yang dicita-citakan prinsip dan sistem demokrasi itu sendiri, padahal biaya politiknya tidak kecil, tingkat risiko (konfliktualitasnya) pun sangat rentan. Itulah realitas sosial-politik yang sering kita saksikan di berbagai wilayah.

Akhirnya, komitmen bersama seluruh kandidat bupati-wakil bupati menjadi kata kunci bagaimana mengedepankan pendidikan politik rasional. Yaitu, format politik yang bakal mampu membawa masyarakat Sumenep jauh lebih sejahtera lahir-batin. Dari komitmen bersama itu sesungguhnya seluruh kandidat mengajari pencerahan politik masyarakat yang mampu mengkritisi program para kandidat: mana yang rasional, membumi dan mana program yang fatamorgana atau janji semata. Inilah makna konstruktif dalam upaya mencerdaskan masyaraka dalam memahami kebutuhan pembangunan wilayah yang pada akhirnya menyangkut kepentingan seluruh komponen publik ini.

Selamat datang sang pemimpin visoner dan amanah. Inilah yang kita tunggu. Sumenep perlu portet pemimpin yang mampu mengubah wajah baru wilayah yang jauh lebih bersinar.
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat