Pilkada Sumenep:
Problem Hak Demokrasi
Oleh Achsanul Qosasi
Terdapat empat pasangan dari unsur partai dan empat pasangan lagi dari unsur indepnden. Itulah keikutsertaan kontestan pilkada langsung untuk kepemimpinan di Kaupaten Sumenep. Yang menarik untuk diulas lebih jauh, akankah terjadi pemasungan hak berdemokrasi?
Pertanyaan tersebut layak kita lontarkan sejalan dengan gelagat “peringatan dari elitis partai yang akan menindak kadernya jika ketahuan nyeberang ke kandidat dari partai lain”.
Dalam sistem kepartaian, menyeberang adalah tindakan ketidakloyalan. Implikasi dari sikap politiknya bukan hanya berdampak pada kegagalan sang kandidat dari partai yang mengusungnya, tapi – pada akhirnya – berpegaruh negatif-destruktif partai. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul sikap politik para elitis partai yang menekankan para kadernya mendukung dan memberikan suaranya kepada kandidat yang memang diusung partainya. Inilah salah satu sikap politik yang pernah dilontarkan salah satu kandidat bupati-wakil bupati Kabupaten Sumenep yang siap digelar pada 14 Juni mendatang.
Yang menjadi persoalan, sang kader – apalagi keluarganya – juga punya hak demokrasi tersendiri. Meski sebagai orang partai tetap loyal, tetapi – secara pribadi – sangat boleh jadi “tidak sejalan” dengan cara pandang dan visi-misi kandidat yang kebetulan tampil dari partai yang sama. Ketika dirinya sadar akan sejumlah titik lemahnya, apakah – atas nama loyalitas terhadap partai – ia harus tunduk kepada kemauan sang elit?
Dilematis memang. Meski demikian, prinsip demokrasi mengajarkan komitmen: memberikan dukungan sesuai hati nuraninya karena pertimbangan bahwa tokoh yang akan dipilihnya memang memenui persyaratan dasar selaku pemimpin. Jika tidak tapi memaksakan diri, sama artinya menjeblosan dirinya ke lubang yang sudah diprediksikan sebelumnya. Kesadaran inilah yang mendorongnya harus berani bersikap: terpaksa memilih kandidat yang memang dinilai mumpuni, dari manapun partainya. Inilah netralitas sikap politik yang dikonstruksi demokrasi. Dari prinsip demokrasi itu sendiri, harusnya para elitis partai – meski dirinya sebagai kandidat – tidak boleh memaksakan kehendaknya. Dengan demikian, demokrasi janganlah diartikan sebagai sistem yang mengabsahkan proses politik yang sesunguhnya bernuansa pemaksaan kehendak. Bagaimanapun, dikatorisme dalam bentuk apapun dan sekecil apapun kadarnya tidak ditolelir dalam sistem demokrasi. Seluruh prosesnya diserahkan kepada mekanisme alamiah. Meski ada upaya untuk mendapatkan target politik yang dikehandaki, tetap semuanya dirancang dengan menghargai hak-hak individual.
Dengan sikap menghargai, maka demokrasi sesungguhnya mengajarkan kita untuk – secara sportif – mengajukan kandidatnya dengan sejumlah pertimbangan. Di antaranya, ia memang mumpuni untuk memimpin rakyatnya. Juga, tercatat amanah dan punya komitmen kuat untuk membangun wilayah dan masyarakatnya yang harus lebih baik.
Dengan persyarakat dasar itu, pemimpin yang ikut serta dalam pentas pilkada harusnya jelas visi-misinya dan berkarakter konstruktif dan senantiasa responsif terhadap dinamika yang terus berlangsung di masyarakatnya. Pemimpin yang kita kehendaki saat ini – secara sadar – haruslah menjauhkan diri dari sikap eksploitatif dari unsur-unsur yang bernuansa primordialistik, baik berkarater kaeagamaan ataupun ketokohan kharimatiknya.
Pendayagunaan kedua unsur tersebut sah saja dalam gugus berdemokrasi. Tapi, untuk dan atas nama kepentingan rakyat, maka yang jauh lebih esensial dan harus diperjuangkan adalah program-program yang nemang solutif bagi kepentingan rakyat. Keberadaan dan peran program merupakan komitmen jelas untuk mengubah sketsa sosial-ekonomi dan lainnya yang jauh lebih manusiawi dan bermartabat. Dengan demikian, pendekatan program merupakan upaya sistimatis untuk melepaskan “jeritan” sosial-ekonomi yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab sang kepala daerah selama ini.
Kini, bagaimana tugas dan atau kewajiban itu harus dipikul sang pemimpin baru? Tak ada jawaban lain: publik harus cerdas membidik calon pemimpin yang tidak hanya obral janji, yang tidak hanya mengeksploitir unsur primordialisme dan atau kharisma ketokohan. Publik perlu agenda aksi nyata untuk membangun Sumenep yang lebih bercahaya. Karenanya, cerdaslah dalam menentukan sikap politiknya. Janganla terkontaminasi untuk menentukan sikap politiknya hanya karena masalah loyalitas kepartaian. Yang jauh leih penting, apa yang harus kita berikan untuk negeri ini (Kabupaten Sumenep). Inilah sikap politik demokratisnya, yang tentu tidak boleh dipasung. Sebuah refleksi yang menjunjung tinggi hak-hak demokrasi setiap individu
Jakarta, 23 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar