Kamis, 09 Desember 2010

Komisi XI Bantah Ada Potensi Koruptif dalam Pembahasan UU

Jakarta - Komisi XI DPR tak masalah dengan masuknya KPK dalam pembahasan sejumlah UU di DPR. Namun, selama ini Komisi XI DPR tidak melihat adanya potensi koruptif dalam pembahasan UU. UU yang disinggung-singgung berbau koruptif dan pro-kepentingan asing yang sedang digarap oleh Komisi XI DPR adalah UU Akuntan Publik. Komisi XI menjamin DPR tak membela kepentingan apapun dalam pembahasan UU ini. "Ada baiknya teman-teman komisi di DPR tidak turut mengomentari tentang pembahasan UU yang sedang dalam pembahasan Komisi XI, apalagi yang tidak terlibat langsung dan tidak mengetahui langsung semangat perjuangan dan proses penyusuan UU tersebut," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi, kepada detikcom, Selasa (30/11/2011).

Menurut Achsanul, RUU AP saat ini sedang memasuki tahapan strategis dalam pembahasan Panja di komisi XI. Dia mengimbau semua kalangan agar bersabar dan mempercayakan sepenuhnya kepada DPR. "Jadi sangat menyakitkan jika ada tuduhan keji tersebut. Bagi yang menuduh semoga saja diampuni dosanya. Bagi yang kami dituduh dan dicurigai, semoga kami dapat pahala," katanya. Achsanul pun mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut mengawasi proses pembuatan UU itu. Namun, diharapkan KPK melakukan sesuai prosedur dan kewenangan yang tepat. "Silakan saja, kami turut menyambut dan ikut mendorongnya pula ada pengawasan dari KPK," terangnya.

Saat ini, RUU AP tinggal membahas empat hal, yaitu tentang lembaga council, kordinasi pengawasan, pembatasan akuntan asing, dan masalah pidana. Achsanul menjamin UU ini tidak dibuat atas nama kepenting asing. "Dan saya jelaskan bahwa RUU AP ini justru kita ingin membatasi ruang gerak akuntan asing di Indonesia. Kita ingin dominasi empat perusahaan asing di Indonesia diperkecil," tandasnya.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy melihat perlunya kehadiran KPK dalam pembahan RUU. Sejumlah UU dirasakan berpotensi disalahgunakan dan merugikan negara. Tjatur menyebut UU pertambangan, infrastruktur, perpajakan, dan akuntan publik, perlu dikawal.

Sumber : Detik News

OJK Akan Punya Kewenangan Penyidikan

Jakarta -Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan Achsanul Qosasi mengatakan nantinya lembaga Otoritas Jasa Keuangan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan harus punya posisi yang kuat. Ini mengingat dinamika sektor keuangan yang begitu pesat perkembangan namun fungsi regulasinya dinilai sangat lemah. “Jadi kita ingin OJK ini sepenuhnya kuat, dan UU ini tidak mandul” katanya di sela-sela rapat Pansus RUU OJK di Hotel Aryaduta, Kamis (2/12).

Menurut Achsanul penyidikan yang dimiliki OJK punya peran penting sehingga jangan sampai kasus criminal di sektor keuangan dibawa ke lembaga yang tidak sepenuhnya memahami sektor finansial. “Tidak semua otoritas hukum memahami betul tentang kondisi keuangan,” katanya.  Sebenarnya, kata dia fungsi penyidikan juga sudah terdapat di lembaga pemerintah lainnya, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

Menurut Achsanul, aparat penyidik di OJK berasal dari pengawai negeri sipil dan kepolisian. Tentang hal ini, kata Achsanul akan masih dibicarakan, jangan sampai saat sedang melakukan penyidikan ditarik oleh kesatuannya di Kepolisian. “Tapi ini bukan masalah besar, karena nanti akan dikunci di pasal-pasal,” katanya. Hal ini diungkapkan Achsanul, berkaitan rencana pertemuan Pansus RUU OJK dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, yang semula dilakukan pada Rabu (1/12) malam, namun belakangan batal dilaksanakan. 

Sumber : Tempo Interaktif

Achsanul: Pembentukan Panja IPO Krakatau Steel Tergesa-gesa

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasih menilai, rencana Komisi VI DPR membentuk Panitia Kerja "Initial Public Offering" PT Krakatau Steel, terlalu tergesa-gesa dan belum memiliki landasan data yang kuat."Jika Komisi VI DPR terus memaksakan membentuk Panja (Panita Kerja) IPO Krakatau Steel, hanya akan menjadi 'macan ompong'," kata Achsanul Qosasi, di Jakarta, Jumat. Menurut Achsanul, Komisi VI DPR RI hanya akan berteriak tapi tidak ada hasilnya.

Persoalan IPO Krakatau Steel yang ramai saat ini hanya merupakan "blow up" dari pernyataan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang kemudian menjadi polemik di media massa, tapi tanpa didukung data-data yang konkrit. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat ini menegaskan, hingga saat ini belum ada laporan dari Bapepam LK bahwa telah terjadi penyimpangan pada proses IPO KS. "Panawaran harga IPO KS sebesar Rp850 per lembar tidak menyimpang, karena masih dalam kisaran harga yang telah disetujui oleh DPR RI periode 2004-2009, yakni pada kisaran Rp800 hingga Rp1.200 per lembar," katanya. Jika memang sudah ada penyimpangan dan ada datannya secara konkrit, menurut dia, silakan Komisi VI DPR RI membuat Panja IPO KS. Achsanul mengingatkan, Komisi VI belum perlu membentuk Panja IPO KS karena indikasi penyimpangan belum ada tapi baru sebatas polemik di media massa. Ia menyarankan, sebaiknya Komisi VI DPR menunda membentuk Panja IPO KS karena tidak memiliki landasan data informasi yang akurat dari lembaga yang berwenang pada IPO KS. "Jika hanya sebatas rumor di media massa, sangat lemah jika akan diungkap dalam Panja," katanya.

Jika Komisi VI DPR RI ingin membentuk Panja IPO KS, Achsanul mengusulkan, hendaknya Komisi VI meminta data pada Bapepam LK dan BPK, kemudian menelaah lebih lanjut apakah ada pe nyimpangan atau tidak. Jika ditemukan ada indikasi penyimpangan silakan dibuat Panja, tapi jika tidak ada indikasi penyimpangan sebaiknya tidak membentuk Panja. Menurut dia, Komisi VI DPR terburu-buru akan membentuk Panja IPO KS karena merasa tertuduh dalam permainan ini. "Adanya tuduhan kepada Komisi VI hendaknya tidak direspon dengan buru-buru membentuk Panja yang tak jelas dasarnya," katanya. Menurut Achsanul, tuduhan itu adalah hal biasa jadi biarkan saja. "Komisi XI juga dituduh tapi dibiarkan saja," kata dia.

Sumber : Republika

Anggota DPR Prihatin Penyerapan APBN 2010 Minim

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi memprihatinkan minimnya serapan APBN 2010 pada kementerian dan lembaga yang hingga saat ini baru terserap sekitar 56 persen. "Padahal APBN 2010 akan berakhir hanya tinggal dua pekan lagi. Saya membayangkan serapannya tidak akan berubah jauh," kata Achsanul Qosasi pada diskusi "Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah" di Jakarta, Jumat.

Menurut Achsanul, berita di media massa menyebutkan, dari 56 persen APBN yang terserap sekitar 50 persennya adalah belanja rutin yakni gaji pegawai dan operasional kementerian dan lembaga, sedangkan belanja proyek fisik hanya sekitar enam persen. Kondisi ini, kata dia, memprihatinkan, karena sisa lebih pembayaran (Silpa) APBN 2010 yang akan masuk dalam komponen APBN 2011 menjadi sangat besar. "Minimnya serapan APBN 2010 terutama pada proyek fisik menunjukkan pembangunan fisik di sebagian besar daerah di Indonesia berjalan lamban," katanya. Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat ini memperkirakan, minimnya serapan APBN 2010 ada dua kemungkinan, karena pimpinan proyek di kementerian dan lembaga takut pada sanksi hukum atau karena belum memahami aturannya. Menurut dia, jika pimpinan proyek di kementerian dan lembaga mengalokasikan anggaran dengan tepat waktu, sesuai harga, dan kualitasnya baik, tidak perlu takut pada sanksi hukum. Achsanul menambahkan, jika pimpinan proyek kurang memahami prosedur dan aturan hukum alokasi anggaran APBN maka perlu disosialisasikan lebih intensif.


Achsanul meminta, agar Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melakukan sosialisasi soal penyerapan dana APBN ke kementerian dan lembaga terutama kepada pemerintah daerah lebih gencar lagi. Menurut dia, ketakutan pimpinan proyek di kementerian dan lembaga terhadap alokasi anggaran APBN karena sebagian besar indikasi kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa. "Dari sekitar 7.000 kasus dugaan korupsi, sekitar 70 persennya adalah kasus pengadaan barang dan jasa, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah," katanya.

Sumber : Republika

DPR Ngotot Minta 4 BUMN Asuransi Merger

Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Tim Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Pansus RUU BPJS) bersikeras agar empat BUMN asuransi dapat melebur menjadi satu. Hal tersebut untuk mempermudah pengelolaan dana masyarakat yang nantinya menjadi beban APBN. Anggota Tim Pansus RUU BPJS Achsanul Qasasi mengungkapkan yang menjadi poin pembahasan RUU BPJS adalah bagaimana menyatukan 4 perusahaan plat merah yang bergerak dibidang asuransi dan dana pensiun ini. "Poinnya ini kan menyatukan terlebih dahulu ke-empat BUMN tersebut. Jadi seluruhnya melebur menjadi satu sesuai undang-undang dan ini nanti namanya BPJS," ujar Achsanul ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Senin (22/11/2010).

Ia mengakui tidak akan mudah menggabungkan 4 BUMN yang asetnya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Penggabungan Jamsostek, Asabri (Asuransi Sosial TNI/Polri), Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes), dan Tabungan Asuransi dan Dana Pensiun PNS (Taspen) menurut Achsanul bisa dilakukan secara bertahap. "Memang tidak mudah menyatukan 4 BUMN yang asetnya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Maka dari itu bisa dilakukan beberapa tahapan pertama Askes dan Asabri bisa digabung untuk mengurusi asuransi kesehatan bagi masyarakat, kemudian antara Jamsostek dan Taspen bisa mengurusi dana pensiun dan keselamatan kerja masyarakat," paparnya.

Hal tersebut perlu dilakukan karena menurut Achsanul pengelolaan dana masyarakat yang nantinya diambil melalui APBN tersebut tidak akan mudah. "Hal ini dikarenakan ke-empat perusahaan BUMN itu akan mengelola penjaminan bagi seluruh rakyat Indonesia dan membutuhkan dana APBN yang besar," tegasnya. Achsanul menambahkan, setelah nantinya melebur menjadi satu maka perusahaan itu nantinya akan bertugas mengelola jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia. Nantinya jaminan sosial itu akan memberikan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian.

Sebelumnya, pemerintah dengan tegas menolak usul DPR untuk meleburkan 4 BUMN asuransi yaitu Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. DPR mengusulkan peleburan 4 BUMN asuransi ini tetap berfungsi sebagai BPJS dengan masing-masing tugasnya. Pemerintah juga menyatakan tak akan membuat badan atau lembaga baru yang khusus bertugas sebagai BPJS. Pemerintah tetap teguh menetapkan 4 BUMN asuransi tersebut sebagai BPJS.


Sumber : Detik Finance

Achsanul kosasih "Yang Teriak di Media Mainkan Saham Krakatau Steel"

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi mengatakan penetapan harga saham IPO PT Krakatau Steel (KRAS) jelas dimainkan untuk keuntungan beberapa pihak. "Sudah diduga sebelumnya, harga KRAS sudah melonjak hampir 50 persen, para pialang dan pemain telah berhasil membuat 'pricing image strategy' melalui politisasi saham KS. Saya curiga yang teriak-teriak di media itu punya saham yang 'nomenee' (diatasnamakan orang lain)," kata Achsanul di Jakarta, Jumat (12/11).

Anggota Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, bahwa permainan harga itu terbukti dengan melesatnya harga saham KRAS dari Rp 850 per lembar menjadi Rp1.250 pada hari pertama pencatatannya dan Rp 1.340 pada hari kedua Kamis (11/11) kemarin. "Hampir semua pihak

menjualnya di posisi Rp 1.270, termasuk Credit Suisse yang katanya investor qualified. Coba ditelusuri ke underwriter, siapa-siapa yang punya atau membeli lewat Credit Suise," imbuhnya.

Menurutnya, jika perlu, DPR akan meminta BPK untuk melakukan audit investigasi, baik pada PT KS maupun kepada para underwriter, sehingga dapat diketahui pihak-pihak yang berkepentingan terhadap IPO PT KS. "Saya curiga kementrian BUMN hanya dijadikan alat untuk keserakahan pihak-pihak yang mencari keuntungan singkat melalui KRAS, atau underwriter tidak menginformasikan hal-hal yang sebenarnya terjadi, karena penetapan harga tidak hanya diputuskan oleh Kemeneg BUMN," katanya.

Pada perdagangan hari pertama Rabu (10/11) kemarin, saham PT Krakatau Steel Tbk berkode KRAS ditutup pada posisi Rp 1.270, naik 49,41 persen dibandingkan dari harga pada saat IPO sebesar Rp 850 per lembar. Hal ini, menurut pengamat pasar modal Yanuar Rizky membuktikan penetapan harga IPO KS lebih rendah.

"Kalau saya jadi Menteri, pasti saya akan malu. Karena penerimaan negara dari harga IPO KS lebih rendah dari rata-rata 2,47 persen," tegas Yanuar.

Kenyataan itu menghancurkan kredibilitas penerimaan negara, karena jelas pasar bisa menyerap ke atas, tetapi tidak dioptimalkan diperdagangan saham perdana sebagai tempat negara mendapatkan uang.

Sumber : Republika

Swiss Dukung Penarikan Dana Robert Tantular

Jakarta, 13/10 (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi mengatakan, Pemerintah Swiss mendukung upaya Indonesia untuk menarik dana Robert Tantular yang ditempatkan di Bank Dressner Swiss. Dalam surat elektronik yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, Achsanul Qosasi mengatakan, kepastian dukungan pemerintah Swiss itu diperoleh saat Komisi XI DPR melakukan kunjungan kerja ke Swiss pada minggu lalu.

Ia mengatakan, dalam kunjungan itu, pihaknya telah memanfaatkan waktu yang ada untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan sebagian dana Bank Century yang disimpan di Swiss. Sehingga, katanya, penelusuran dana Bank Century yang tersimpan di Swiss dapat terungkap, dan yang penting adalah dana itu bisa kembali ke pemerintah Indonesia. 

Achsanul mengungkapkan, dasar hukum pemerintah Indonesia untuk menarik dana hasil kejahatan perbankan kasus Bank Century yang dilakukan Robert Tantular senilai Rp1,5 triliun tersebut adalah "Mutual Legal Agreement" (MLA). Menurut dia, untuk segera mewujudkan pengembalian uang Negara itu, maka MLA harus direvisi sehingga pengadilan Indonesia dapat mempertegas bahwa dana tersebut merupakan bagian dari kejahatan perbankan yang dilakukan Robert Tantular. 

Menurut dia, dana sebesar Rp 1,5 triliun milik Robert Tantular ada di Bank Dressner-Swiss, yang merupakan bagian kejahatan perbankan yang ia lakukan. Karena itu, katanya, MLA harus direvisi agar dana itu bisa ditarik ke Indonesia. Terkait upaya percepatan tersebut, ia menegaskan bahwa pihaknya akan mendesak pemerintah untuk secepatnya merevisi MLA dan mengirimkan hasil revisi tersebut ke Swiss. 

Sumber : Antara News

ACHSANUL QOSASI: Perppu Ditolak Pengambilan Keputusan Tetap Sah

Politikindonesia - Kehadirannya sebagai anggota Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) cukup diperhitungkan. Gaya bicaranya teratur, tidak meledak-ledak, namun tetap tajam dan kritis. Tak hanya itu, anggota F-PD dari daerah Pemilihan X (Sampang, bangkalan, Pamekasan dan Sumenep) itu pun tergolong kader yang cinta damai, tak suka ribut-ribut. Lihat saja kiprahnya ketika terjadi perdebatan sengit antara rekan se fraksinya, Ruhut Sitompul dengan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Pansus dari F-PDIP, yang saat itu memimpin Rapat Pansus Century. Achsanul tak sekedar menasihati Ruhut tetapi bahkan menghentikan ocehan Ruhut dengan mematikan mikrofon yang dipakainya. Meski tak berhasil, namun publik mencatat akan upaya yang dilakukannya itu.

Pemahaman di bidang keuangan, menghantarkannya menjadi anggota Pansus Century. Tak hanya itu, ia pun berhasil menduduki jabatan strategis di Komisi XI yang membidangi sektor keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan dan lembaga keuangan non-bank sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

Di luar parlemen, pria berkumis tipis itu pun dipercaya sebagai Wakil Bendahara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), merangkap Deputi Sekjen Bidang Keuangan. Tidaklah mengherankan jika ia begitu faham tentang masalah keuangan.

Bagaimana pendapat Achsanul seputar tanggung jawab pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century hingga mencapai Rp 6,7 triliun itu. Juga bagaimana ia menanggapi kontroversi seputar kebijakan yang tidak dapat dipidanakan serta bagaimana ia menanggapi Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Berikut petikan wawancara singkatnya dengan Sapto Adiwiloso dari [politikindonesia] yang menemuinya sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (26/1)

[Masalah pertanggungjawaban bail out Bank Century kerap menjadi fokus pertanyaan Pansus. Sebetulnya siapa sih yang harus bertanggung jawab dalam persoalan itu?]
Pengambilan keputusan tertinggi dalam kondisi krisis, apakah itu berdampak sistemik atau tidak, itu ada di Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Undang-undangnya memang menyatakan demikian. Jadi kalau Ketua KSSK saat itu harus mengambil keputusan tentang bail out Bank Century, itu memang wewenangnya. Dan Fraksi Partai Demokrat hingga saat ini menyatakan bahwa keputusan itu sudah betul.

[Apa buktinya?]
Lho, buktinya jelas. Dengan pengambilan keputusan itu, krisis keuangan di Indonesia bisa diatasi. Dan Indonesia selamat dari badai krisis yang melanda dunia.

[Bagaimana dengan tanggungjawab Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sampai sekarang juga masih diributkan anggota Pansus yang lain?]
BI itu kewajibannya hanya menetapkan suatu bank itu dinyatakan gagal apa tidak. Sedang keputusan dampak sistemiknya, itu kewenangan KSSK. Jadi harus dipilah-pilah.

[Tapi kan keputusan Bail Out itu didasarkan pada hasil laporan BI?]
Data-data dari BI itu hanya pelengkap pengambilan keputusan. Sedang proses-proses pengambilan keputusan itu ada di BI. Apakah data itu benar apa tidak, BI-lah yang paling tahu.

[Bagaimana anda menanggapi pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat dipidanakan?]
Jika kita bicara undang-undang, memang benar kebijakan publik (public policy) tidak bisa dihukum. Tetapi kalau dalam pengambilan kebijakan itu mengandung unsur-unsur korupsi yang menguntungkan partai, golongan maupun individu Sri Mulyani maupun Boediono itu lain persoalannya. Saya setuju, itu harus dihukum. Sebaliknya, jika unsur itu itu tidak terbukti ya kami pun tidak berani mengada-ada.

[Tetapi sebenarnya ada tidak unsur itu?]
Sampai sekarang, tidak ada

[Apa indikasinya?]
Aliran dananya jelas. Laporan PPATK maupun menegaskan, tidak ada yang lari ke partai maupun para pelaku kebijakan itu. 

[Apa pendapat anda tentang Perppu 4/2008 yang oleh Natabaya (salah satu ahli yang dimintai keterangan Pansus) dikatakan tidak sah?]
Inilah ketidaktegasan DPR kita saat itu. Mestinya kalau ditolak, ya katakan ditolak saja. Jangan ragu-ragu. Karena itu, tidaklah salah jika pemerintah saat itu beranggapan bahwa Perppu itu tidak ditolak. Namun jika saat itupun DPR menolak, pengambilan keputusan bail out terhadap Bank Century tetap sah. Karena itu posisinya di Paripurna berikutnya, September 2009.

Rabu, 01 Desember 2010

Komisi XI melakukan Pengawasan tehadap 3 BUMN

Komisi XI DPR-RI saat ini melakukan program pengawasan terhadap kinerja keuangan dari 3 BUMN, yaitu PT.Kereta Api Indonesia (PT.KAI), PT.Merpati dan PT Angkasa Pura II. PT KAI merupakan perusahaan yang mengelola transportasi massal dimana Komisi XI DPR-RI meminta agar permerintah memberikan perhatian khusus kepada PT KAI. Kaitan dengan pemerintah adalah karena pemerintah diminta untuk menyediakan prasarana yang digunakan oleh PT KAI, sedangkan PT.KAI berkonsentrasi kepada sarana transportasinya saja, sehingga bebann PT.KAI tidak terlalu berat.

Untuk PT Merpati, sebaiknya memang difokuskan pada jalur jalur perintis, sehingga tidak dibebani untuk perolehan labanya. Jadi lebih difokuskan pada layanan penghubung nusantara, terutama untuk daerah daerah yang tidak komersil. Komisi XI DPR-RI siap membantu dalam hal permodalannya. Anggaran yang sudah disetujui sebesar Rp.2,1 Triliun. Selain itu Komisi XI DPR-RI menilai PT.Merpati juga harus bisa melakukan efesiensi. Komisi XI DPR-RI mengapresiasi atas negosiasi ulang yang dilakukan PT.Merpati dalam penyewaan pesawat sehingga dapat menekan biaya sewa sebesar Rp.500 juta. dan juga dalam program leaseback dimana dalam 12 bulan pesawat tersebut dapat dimiliki PT.Merpati.

PT Angkasa Pura II diminta untuk lebih memfokuskan pada pelayanan Bandara yang saat ini dinilai sangat tidak layak sebagai pintu masuk (Gerbang Indonesia), sementara likuiditasnya sangat baik dan memiliki dana tunai yang cukup untuk memperbaiki fasilitas fasilitas Bandara yang sudah mulai kumuh..... Salam AQ

Kamis, 04 November 2010

PT Krakatau Steel,...IPO untuk Siapa?

Reaksi pasar terhadap Penawaran Saham Perdana (IPO) PT Krakatau Steel (PT KS) menimbulkan sejumlah kegaduhan yang membingungkan. PT KS sebagai salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang selama ini diandalkan pemerintah memang disinyalir telah menetapkan harga saham yang sangat rendah. Perusahaan Perbankan saja seperti BNI dan Mandiri saja melepas sahamnya di harga kisaran Rp.2.000-Rp.3.000.

Untuk PT KS akan muncul spekulan yang dengan sangat mudah memainkan saham tersebut. PER (Player Effeciency Rating) yang ditetapkan memang dibawah 10%, coba saja bandingkan dengan Wuhan, China (15%), Poco, Korea (12%).

Persetujuan DPR sudah diberikan 1 tahun yang lalu, Proses penawaran perdana yang lebih dari satu tahun juga harus dijelaskan oleh management PT KS. Mereka juga harus mempertimbangkan investor investor lokal, jangan hanya tergiur dengan nama nama besar seperti Merryl Lynch, Goldman Sach, Fedelity dan lain lain. Boleh saja mereka ambil porsi, tapi harus dibatasi.!! Berikan kesempatan kepada Jamsostek dan BUMN yang likuid.

Kegaduhan ini mungkin terjadi karena banyaknya investor ritel (provit taker jangka pendek) yang tidak kebagian, sementara mungkin pemerintah dan underwriter menginginkan investor yang berkualitas dan jangka panjang.

Penulis hanya mengingatkan jangan sampai pemerintah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dana maksimal dari IPO tersebut, Meneg BUMN telah berupaya maksimal untuk hal tersebut, karena Bapak Meneg bukan orang yang mudah dipengaruhi...... Salam AQ

Asuransi Bencana

Pemerintah Indonesia melalui BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan Kementerian Keuangan sebaiknya segera mengusulkan adanya asuransi untuk bencana, mengingat wilayah Indonesia merupakan wilayah rawan akan bencana dan ini menguntungkan sebagai bentuk efesiensi beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) kita. Beberapa perusahaan asuransi skala nasional maupun internasional baik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah ada yang menawarkan diri, namun akan lebih baik kalau perusahaan perusahaan asuransi tersebut membentuk konsorsium sehingga menjadi kuat dan dapat berbagi resiko.

Kami sangat berharap konsorsium tersebut sesegera mungkin dapat membuat skim pelaksanaan dan diusulkan kepada pemerintah. Lingkup coverage asuransi bencana ini mencakup seluruh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan premi tahunan yang menjadi tanggungan APBN. Penulis pernah menerima usulan dari suatu lembaga asuransi asing, bahwa dengan premi 500 Miliar, uang pertanggungan bisa mencapai nilai 10 Triliun. Bencana memang tidak kita kehendaki, namun sebagai manusia, kita wajib mengantisipasi, karena jika terjadi bencana di suatu wilayah, biaya recovery yang diperlukan tidak sedikit dan tanpa asuransi tersebut, maka sebenarnya rakyat jugalah yang menanggungnya..... Salam AQ

Kunker ke Jerman dan Inggris

Kunjungan kerja ke Jerman dan Inggris pada tanggal 31 Oktober sampai 05 November 2010 dengan agenda RUU OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang harus selesai pada bulan Desember 2010. Rombongan mendarat di Frankfurt, Jerman hari Minggu sore yang lalu tanggal 31 Oktober 2010. Pada hari Senin Tanggal 01 November, rombongan diterima di KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Frankfurt dan dilanjutkan mengunjungi Dresner Bank. Keesokan harinya, selasa 02 November 2010 mengunjungi Bundes Bank dan dilanjutkan sore harinya dengan BAFIN (OJK Jerman).

Hari Rabu 03 November, Rombongan melanjutkan kunjungan kerja menuju London, Inggris dan pada sore harinya langsung bertemu dengan Bank of England serta malam hari dilanjutkan pertemuan dengan FSA (OJK Inggris). Pada hari Kamis pagi, 04 November, rombongan diterima oleh Kementerian Keuangan Inggris (HM Treasury) dan malam harinya direncanakan bertemu dengan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di London. Jum'at pagi, 05 November rombongan akan meninggalkan Inggris menuju tanah air dan direncakan tiba Sabtu malam di Jakarta

Rabu, 11 Agustus 2010

Achsanul Qosasi Masuk dalam Susunan Pengurus HKTI

Jakarta,  Para pengurus Dewan Pakar dan Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia tidak ikut dilantik oleh Ketua Umum HKTI Prabowo Subianto dalam acara pelantikan pengurus tadi siang di Ragunan, Jakarta Selatan, Jumat  siang (6/8).
 
Sekjen HKTI, Fadli Zon, menyatakan hal itu dalam pembacaan susunan pengurus HKTI. 

Yang menarik di dalam susunan kepengurusan HKTI 2010-2015 ini, Prabowo memasukkan nama-nama dari berbagai latar belakang profesi dan politik, unsur partai pemerintah, non-pemerintah, pengamat politik sampai ke penyiar berita televisi. 

Sebut saja mulai dari posisi Wakil Ketua Umum HKTI yang dijabat oleh kader Partai Demokrat di Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi. Achsanul melengkapi nama wakil partai pemerintah yang masuk di jabatan teras HKTI, setelah sebelumnya Djafar Hafsah menduduki Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi HKTI. 

Dari barisan partai non pemerintah, pentolan PDI Perjuangan dipercayakan menjabat Ketua Bidang Tenaga Kerja Pertanian. Tidak hanya Eva kader Mega yang diajak gabung tapi juga ada Ganjar Pranowo yang menjadi Ketua  Bidang Pangan. 

Kemudian, ada putri almarhum Gus Dur, Yenni Wahid, yang memegang jabatan Ketua Bidang Pemasaran Pertanian. Yenni juga dikenal sebagai tokoh PKB dari kubu Kongres Parung. Lalu, ada juga mantan pengamat politik CSIS yang menjadi kader Golkar, Indra Jaya Pilliang. 

Dari kalangan pengamat politik, Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro didaulat untuk duduk di posisi Ketua Bidang Perdagangan. 

Yang menarik, Prabowo juga mengikutsertakan kalangan jurnalis di dalam susunan lima tahun mendatang yang direpresentasikan oleh penyiar berita salah satu televisi swasta nasional, Drg Tina Talisa. Tidak tanggung-tanggung, pembawa acara berita yang kerap tampil malam hari itu itu dipercaya menjabat salah satu posisi Wakil Sekjen.

Jumat, 16 Juli 2010



Senayan - Menjadi Ketua Himpunan  Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) harus mampu menciptakan kemerdekaan petani di Indonesia. Sehingga HKTI bisa menjadi lembaga mediasi, edukasi dan penyambung aspirasi masyarakat petani. Hal itu dikatakan salah satu Ketua HKTI, Achsanul Qosasi.

"Jika dilihat dari latar belakang dan kemampuan Pak Jafar, rasanya dia mampu memimpin HKTI," kata Achsanul ketika dihubungi Jurnalparlemen.com, Sabtu (10/7).

Menurut dia, sebagai mantan Dirjen Tanaman Pangan, Jafar Hafsah dipandang mengetahui kekurangan dan kelemahan sistem pertanian di Indonesia. "Beliau tahu bagaimana mengoptimalkan produksi (pertanian) dan menjualnya," kata Achsanul yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi XI DPR RI ini.

Diakuinya kinerja HKTI selama ini belum maksimal karena program-program HKTI di daerah tidak berjalan. Sampai saat ini, lanjut dia, belum ada organisasi yang maksimal melakukan hal itu termasuk HKTI. Pencalonan Jafar yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini, dinilai bisa membawa solusi.

"Selain itu, Jafar bisa menjembatani antara petani, nelayan dan Deptan selaku pelaksana dan penanggung jawab pertanian di Indonesia," pungkas dia.

Jumat, 02 Juli 2010

Demokrat Sumenep Tanggapi "Dingin" Gugatan Mufi

Sumenep - Pengurus Partai Demokrat Sumenep, Madura, Jawa Timur versi Achsanul Qosasi menanggapi "dingin" adanya gugatan hukum yang dilakukan A. Mufi Asmara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya terkait pengajuan berkas pencalonan pada pemilu kepala daerah (pilkada).



"Tidak ada masalah. Di Sumenep itu hanya ada satu kepengurusan Partai Demokrat, yakni yang dipimpin Achsanul Qosasi," kata Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Sumenep, Abdul Azis Salim Sabibie, dari Bandung yang dihubungi per telepon dari Sumenep, Senin.

Sejak tanggal 8 Januari 2010, terdapat dua pimpinan Partai Demokrat Sumenep yang sama-sama mengaku (klaim) sah dan diakui DPP Partai Demokrat, yakni Mufi dan Achsanul Qosasi.

Achsanul mengantongi surat keputusan dari DPP Partai Demokrat tertanggal 8 Januari 2010 yang menunjuknya sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPC Partai Demokrat Sumenep.

Surat keputusan pengangkatan Achsanul sebagai pelaksana tugas ketua tersebut sekaligus merupakan surat keputusan penghentian Mufi sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Sumenep.

Atas dasar surat keputusan itu pula, Achsanul yang menandatangani berkas pencalonan Bambang Mursalin-M. Saleh Abdullah sebagai peserta pilkada kepada anggota KPU Sumenep pada tanggal 25 Maret 2010.

Pada tanggal 19 Mei 2010, Mufi melalui kuasa hukumnya, Emil Ma'ruf, mendaftarkan gugatan hukum di PTUN Surabaya atas tindakan anggota KPU Sumenep yang telah menerima pengajuan berkas pencalonan peserta pilkada yang ditandatangani Achsanul Qosasi.

"Kami tidak mungkin menanggapi tindakan yang dilakukan oleh sesuatu yang tidak ada," katanya,
Ia mengatakan pengurus yang sah dan diakui oleh DPP Partai Demokrat adalah pengurus Partai Demokrat Sumenep yang dipimpin Achsanul Qosasi.

"Apanya yang mau dikhawatirkan. Sekali lagi, tidak akan ada masalah. Gugatan itu tidak akan berdampak apa pun bagi kami dan pengajuan pasangan calon peserta pilkada yang kami lakukan itu sudah sesuai aturan main," kata Azis menegaskan.

Sementara anggota KPU Sumenep siap menghadapi gugatan hukum yang diajukan Mufi di PTUN Surabaya.

Selasa, 29 Juni 2010

Soal Dana Aspirasi, PD Tidak Tinggalkan Golkar


Jakarta - Gagasan dana aspirasi DPR kepada konstituen di daerah terus memancing reaksi. Di parlemen silang pendapat juga bermunculan termasuk di antara partai pengusung usulan itu.

Kini, praktis Partai Golkar sendiri memperjuangkan gagasan yang diklaim untuk kesejahteraan rakyat itu. Padahal, ide dasar gagasan ini muncul kali pertama oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat. Bedanya, Partai Golkar menyebut angka Rp15 miliar per dapil per anggota, Partai Demokrat tidak menyebut angka.“Idenya bagus, cuma cara penyampaiannya keliru,” cetus Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi kepada R Ferdian Andi R dari INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta, Senin (7/6). Berikut wawancara lengkapnya:

Bagaimana sikap Partai Demokrat atas usulan dana aspriasi kepada konstituen, bukankah sejak awal PD juga mengusulkan, tapi mengapa saat ini sepertinya menarik diri?

Gagasan itu bagus, idenya bagus cuma cara penyampaiannya keliru. Jadi memang anggota DPR punya hak memberikan usulan tapi salahnya menyebut angka. Mekanisme belum dibuat, aturan belum dibuat tetapi angka sudah muncul. Menurut kami, aturan dulu dibuat, baru dirapatkan. Kita buat rapat komisi, barulah ditentukan berapa angkanya sesuai kebutuhan daerah yang pijakannya hasil Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) daerah dan data daerah tertinggal. Kalau itu dijalankan, itu bagus ada pemerataan pembangunan. Kalau aturan tidak sesuai dengan UU, bayangkan bagaimana presiden, Menkeu, bupati termasuk DPR akan kena jerat KPK. Bikin dulu aturan mainnya baru berbicara angka.

Memang seperti apa praktik saat ini dalam konteks pembangunan di daerah?

Tidak seperti sekarang, beberapa kabupaten tahu-tahu sudah muncul angka anggarannya, ini kan karena ada calo-calo anggaran di DPR. Kalau sistem ini dilakukan calo-calo ini akan hilang. Hanya wakil rakyat yang berhubungan dengan daerah pemilihannya. Fungsi budgeting bukan implementator, tapi kalau kata kuncinya wakil rakyat memperjuangkan dengan cara pemerataan anggaran itu harus didukung, Selama ini kabupaten yang tidak pernah diusulkan, mereka tidak dapat anggaran, kan kasihan. 









Sumber : Inilah.com

Menyongsong Gubernur BI

Menyongsong Gubernur BI
Oleh Achsanul Qosasi


Posisi Gubernur Bank Indonesia (BI) sudah kosong sekitar setahun dan harus segera diisi secara definitif, bukan sekedar pelimpahan tugas (pejabat sementara). Prosesnya pun harus melalui uji kepatutan (fit and proper test) DPR RI. Yang menarik untuk kita soroti, haruskah kandidat Gubernur BI orang “dalam”? Dan lebih krusial lagi, mampukah uji kapatutan ini menghadirkan Gubernur BI yang mampu  menjawab tantangan internal dan ekternal yang memang memerlukan tanggung jawab dan komitmen besar untuk sebuah agenda pembangunan ekonomi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat?

Seperti informasi yang telah tersebar luas, kandidat Gubernur BI yang diajukan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ke DPR RI itu tunggal (Darmin Nasution) dan dari dalam institusi BI. Sejumlah pihak yang tak sependapat menilai minus atas ketunggalannnya dengan dalih tiadanya alternatif, fait accompli terhadap DPR dan karenanya tidak demokratis. Bisa kita maklumi penilaian itu. Namun, calon tunggal juga mengandung sejumlah nilai positif, yaitu – pertama – mencegah rivalitas yang justru berpotensi membangun persaingan tidak sehat, kemudian dijadikan lahan gratifikasi. Secara sosiologis, pengajuan calon tunggal akan mampu menghindarkan praktik aji mumpung (carpedium) yang bersifat eksploitatif bagi oknum tim penguji. Jika mumpungisme ini dibiarkan, maka yang rugi jelas: oknum tim penguji kepatutan – sangat mungkin – akan berhadapan proses hukum. Maka, pengajuan kandidat tunggal sesungguhnya merefleksikan komitmen penegakan hukum yang bersifat preventif. Kedua – sejalan dengan sang  kandidat dari dalam BI – hal ini mengandung prinsip maksimalisasi proses yang efisien dan lebih fokus bagi tim penguji untuk melihat lebih jauh kapasitas, komitmen dan integritas sang kandidat.

Seperti kita ketahui bersama, BI saat ini – diakui atau tidak – masih diperhadapkan krisis internal yang cukup serius, di samping persoalan eksternal. Dari sisi internal – berkaca pada kasus Bank Century, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang sinyal ketidakdisiplinan (penyalahgunaan wewenang), sehingga tampak membiarkan data sebuah bank seperti Bank Century yang jelas-jelas “sakit” tetap bertahan beroperasi. Kebertahanan operasi Bank Century tidak akan pernah terjadi jika pejabat terkait fungsi pengawasan tidak terkecoh oleh gerakan kolusi yang terbangun dengan pihak pengelola dan pemilik Bank Century itu. Harus jujur kita catat, Pak Boediono yang tercatat bersih itu, saat menjabat Gubernur BI tampak “termainkan” oleh jajaran di bawahnya, sehingga data “busuk” Century tidak sampai ke tangan beliau dengan jelas. Akibat “main mata” yang terjadi, Gubernur BI selaku “komandan” tertinggi di lembaga otoritas moneter itu benar-benar terkena badai.

Menggaris-bawahi kasus Bank Century itu, kini ada kebutuhan mendesak bahwa kandidat Gubernur BI – secara konsepsional-operasional dan mental – harus mampu memimpin dan diterima di lingkungan internalnya. Akseptabilitas ini akan menumbuhkan kewibawaan tersendiri, sehingga jajarannya loyal, disiplin dalam bekerja, juga tidak berani “neko-neko” (bersekongkol) dengan pihak manapun. Untuk mencapai mentalitas kerja seperti ini, maka ada kebutuhan urgen dalam pemilihan Gubernur BI saat itu: ia haruslah seorang figur pemimpin. Masalah kepemimpinan di tengah BI saat ini sungguh diperlukan. Ia bukan hanya mumpuni pengetahuan teknis operasional dunia perbankan dan sistem moneter, tapi ia juga disegani seluruh komponen institusinya.

Kepemimpinan yang efektif akan memudahkan Gubernur menginstuksikan apapun yang dikehendaki sepanjang terkait dengan urusan tugas. Dan yang lebih krusial adalah instruksi khususnya terkait pembenahan moralitas atau kedisiplinan kerja. Perlu kita catat, aspek ini kini menjadi garda bagaimana mengkonstruksi BI ke depan yang jauh lebih nasionalis: mengedepankan kepentingan bangsa-negara. Refleksinya, ia – sebagai pemimpin – dituntut untuk ikut menunjang pembangunan sistem moneter yang mampu mendorong ekonomi sektor sektor riil. Di sisi lain – dengan kekuasaan instruktifnya – Gubernur BI harus memberikan sikap jelas kepada suluruh perbankan agar memfasilitasi gerakan ekonomi sektor riil untuk semua level, terutama menengah ke bawah.

Ketegasan itu pun harus ditunjukkan kepada bank-bank asing dalam kerangka ikut mempercepat upaya dan proses dan penumbuhan ekonomi sektor riil. Perizinan yang diberikannya – jika perlu – ditinjau ulang. Arahnya, bank-bank asing jangan hanya mengeruk keuntungan dari jasa-jasa transaksionalnya tanpa memberikan efek positif terhadap pengembangan ekonomi di tanah air, terutama sektor riil. Sekali lagi, dengan otoritasnya selaku Gubernur BI, sikap tegas terhadap bank-bank asing akan menambah kekuatan sinergis terhadap bank-bank nasional (swasta atau milik pemerintah) untuk misi penyejahteraan rakyat. Obsesi besar ini tak akan terwujud jika jatidiri Gubernur BI tak berpengaruh di mata bank-bank nasional, apalagi bank asing.

Di sisi lain, Gubernur BI mendatang juga harus berhadapan dengan arus kuat internal BI. Seperti kita ketahui, saat ini sedang digodok lembaga pengawasan yang idealnya terpisah dari institusi BI. Salah satu fungsinya – yakni pengawasan – dipisahkan. Dan BI dirancang untuk lebih konsentrasi pada upaya membangun stabilitas moneter. Urusan teknis pengawasan perbankan tidak lagi dalam otoritasnya, tapi diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus kita catat, proposal ini cenderung ditampik oleh orang-orang BI.

Kondisi itu menggambarkan adanya situasi internal BI yang sesungguhnya resisten terhadap proposal pemisahan fungsi pengawasan itu. Lalu, bagaimana Gubernur baru BI nanti mampu menghadapi arus kuat yang cenderung mempertahankan fungsi pengawasan, sementara itu, tim fit and proper test DPR lebih menghendaki pemisahan itu? Jika sang kandidat tidak sejalan dengan cara pandang DPR RI, maka ia berpotensi gagal (calon tunggal ditolak). Atau, jika ia berpura-pura sejalan dengan sikap DPR, tapi di kemudian hari “balik badan” (tetap mempertahankan fungsi pengawasan dalam BI), maka hari-hari berikutnya sang Gubernur BI akan bermasalah dengan lembaga legislatif. Di sini, tim uji kepatutan pun dituntut kejeliannya untuk melihat gelagat yang responsif terhadap keinginan kuat Dewan untuk pemisahan fungsi pengawasan, atau hanya berstrategi.

Sementara itu – dalam masa yang relatif bersamaan – ada tuntutan eksternal yang tak kalah seriusnya. Seperti kita ketahui bersama, beberapa pekan lalu tergulir gagasan untuk memberlakukan mata uang bersama ASEAN. Atas nama dan atau kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dari kawasan Asia Tenggara ini, maka gagasan itu sungguh ditunggu realisasinya. Konsekuensinya, Gubernur BI harus mempunyai wawasan yang mumpuni bagaimana ikut mengkonstruksi sistem moneter regional. Dan kemampuan ini pun perlu ditunjang dengan akseptabilitas dirinya di mata para gubernur-gubernur bank sentral negara-negara ASEAN. Ini berarti, sang kandidat Gubernur BI saat ini juga haruslah punya kemampuan lobi dan seni meyakinkan orang lain.

Kini, sejalan dengan Pak Darmin Nasution orang dalam BI, sesungguhnya ia telah mengantongi sejumlah modalitas. Di luar kapasitasnya yang terkait dengan teknis-operasional dan wawasan seputar moneter dan fiskal, ia tak perlu lebih jauh mengadaptasi diri dengan lingkungan sejawatnya. Akseptabilitas yang cepat di lingkungan internalnya akan berpengaruh untuk mempercepat upaya pembenahan kinerja. Soliditas ini sungguh merupakan modalitas yang bermakna positif. Kiranya tidaklah berlebihan jika modalitas yang tergenggam ini akan mampu melakukan peran konstruktif lebih jauh ketika harus ikut bergerak dalam upaya pembangunan mata uang bersama ASEAN yang sudah diimpikan itu.

Akhirnya, Gubernur BI mendatang – secara paralel – harus mampu menjawab dua persoalan krusial saat ini: lingkungan internal BI yang jauh lebnih terkelola dengan baik dan dinamika eksternal yang semuanya harus direspons secara konstruktif. Responsivitas merupakan kata kunci bagi Gubernur BI agar negeri ini tidak mudah terseok-seok sistem moneternya, meski harus berhadapan kekuatan para fund manager dunia yang sangat tricky. Juga, agar regulasinya mampu memperbaiki kondisi perekonomian nasional yang mencerahkan untuk bangsa dan negara. Inilah potret Gubernur BI yang kita songsong.

Jakarta, 3 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat