Kamis, 09 Desember 2010

Komisi XI Bantah Ada Potensi Koruptif dalam Pembahasan UU

Jakarta - Komisi XI DPR tak masalah dengan masuknya KPK dalam pembahasan sejumlah UU di DPR. Namun, selama ini Komisi XI DPR tidak melihat adanya potensi koruptif dalam pembahasan UU. UU yang disinggung-singgung berbau koruptif dan pro-kepentingan asing yang sedang digarap oleh Komisi XI DPR adalah UU Akuntan Publik. Komisi XI menjamin DPR tak membela kepentingan apapun dalam pembahasan UU ini. "Ada baiknya teman-teman komisi di DPR tidak turut mengomentari tentang pembahasan UU yang sedang dalam pembahasan Komisi XI, apalagi yang tidak terlibat langsung dan tidak mengetahui langsung semangat perjuangan dan proses penyusuan UU tersebut," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi, kepada detikcom, Selasa (30/11/2011).

Menurut Achsanul, RUU AP saat ini sedang memasuki tahapan strategis dalam pembahasan Panja di komisi XI. Dia mengimbau semua kalangan agar bersabar dan mempercayakan sepenuhnya kepada DPR. "Jadi sangat menyakitkan jika ada tuduhan keji tersebut. Bagi yang menuduh semoga saja diampuni dosanya. Bagi yang kami dituduh dan dicurigai, semoga kami dapat pahala," katanya. Achsanul pun mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut mengawasi proses pembuatan UU itu. Namun, diharapkan KPK melakukan sesuai prosedur dan kewenangan yang tepat. "Silakan saja, kami turut menyambut dan ikut mendorongnya pula ada pengawasan dari KPK," terangnya.

Saat ini, RUU AP tinggal membahas empat hal, yaitu tentang lembaga council, kordinasi pengawasan, pembatasan akuntan asing, dan masalah pidana. Achsanul menjamin UU ini tidak dibuat atas nama kepenting asing. "Dan saya jelaskan bahwa RUU AP ini justru kita ingin membatasi ruang gerak akuntan asing di Indonesia. Kita ingin dominasi empat perusahaan asing di Indonesia diperkecil," tandasnya.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy melihat perlunya kehadiran KPK dalam pembahan RUU. Sejumlah UU dirasakan berpotensi disalahgunakan dan merugikan negara. Tjatur menyebut UU pertambangan, infrastruktur, perpajakan, dan akuntan publik, perlu dikawal.

Sumber : Detik News

OJK Akan Punya Kewenangan Penyidikan

Jakarta -Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan Achsanul Qosasi mengatakan nantinya lembaga Otoritas Jasa Keuangan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan harus punya posisi yang kuat. Ini mengingat dinamika sektor keuangan yang begitu pesat perkembangan namun fungsi regulasinya dinilai sangat lemah. “Jadi kita ingin OJK ini sepenuhnya kuat, dan UU ini tidak mandul” katanya di sela-sela rapat Pansus RUU OJK di Hotel Aryaduta, Kamis (2/12).

Menurut Achsanul penyidikan yang dimiliki OJK punya peran penting sehingga jangan sampai kasus criminal di sektor keuangan dibawa ke lembaga yang tidak sepenuhnya memahami sektor finansial. “Tidak semua otoritas hukum memahami betul tentang kondisi keuangan,” katanya.  Sebenarnya, kata dia fungsi penyidikan juga sudah terdapat di lembaga pemerintah lainnya, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

Menurut Achsanul, aparat penyidik di OJK berasal dari pengawai negeri sipil dan kepolisian. Tentang hal ini, kata Achsanul akan masih dibicarakan, jangan sampai saat sedang melakukan penyidikan ditarik oleh kesatuannya di Kepolisian. “Tapi ini bukan masalah besar, karena nanti akan dikunci di pasal-pasal,” katanya. Hal ini diungkapkan Achsanul, berkaitan rencana pertemuan Pansus RUU OJK dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, yang semula dilakukan pada Rabu (1/12) malam, namun belakangan batal dilaksanakan. 

Sumber : Tempo Interaktif

Achsanul: Pembentukan Panja IPO Krakatau Steel Tergesa-gesa

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasih menilai, rencana Komisi VI DPR membentuk Panitia Kerja "Initial Public Offering" PT Krakatau Steel, terlalu tergesa-gesa dan belum memiliki landasan data yang kuat."Jika Komisi VI DPR terus memaksakan membentuk Panja (Panita Kerja) IPO Krakatau Steel, hanya akan menjadi 'macan ompong'," kata Achsanul Qosasi, di Jakarta, Jumat. Menurut Achsanul, Komisi VI DPR RI hanya akan berteriak tapi tidak ada hasilnya.

Persoalan IPO Krakatau Steel yang ramai saat ini hanya merupakan "blow up" dari pernyataan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang kemudian menjadi polemik di media massa, tapi tanpa didukung data-data yang konkrit. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat ini menegaskan, hingga saat ini belum ada laporan dari Bapepam LK bahwa telah terjadi penyimpangan pada proses IPO KS. "Panawaran harga IPO KS sebesar Rp850 per lembar tidak menyimpang, karena masih dalam kisaran harga yang telah disetujui oleh DPR RI periode 2004-2009, yakni pada kisaran Rp800 hingga Rp1.200 per lembar," katanya. Jika memang sudah ada penyimpangan dan ada datannya secara konkrit, menurut dia, silakan Komisi VI DPR RI membuat Panja IPO KS. Achsanul mengingatkan, Komisi VI belum perlu membentuk Panja IPO KS karena indikasi penyimpangan belum ada tapi baru sebatas polemik di media massa. Ia menyarankan, sebaiknya Komisi VI DPR menunda membentuk Panja IPO KS karena tidak memiliki landasan data informasi yang akurat dari lembaga yang berwenang pada IPO KS. "Jika hanya sebatas rumor di media massa, sangat lemah jika akan diungkap dalam Panja," katanya.

Jika Komisi VI DPR RI ingin membentuk Panja IPO KS, Achsanul mengusulkan, hendaknya Komisi VI meminta data pada Bapepam LK dan BPK, kemudian menelaah lebih lanjut apakah ada pe nyimpangan atau tidak. Jika ditemukan ada indikasi penyimpangan silakan dibuat Panja, tapi jika tidak ada indikasi penyimpangan sebaiknya tidak membentuk Panja. Menurut dia, Komisi VI DPR terburu-buru akan membentuk Panja IPO KS karena merasa tertuduh dalam permainan ini. "Adanya tuduhan kepada Komisi VI hendaknya tidak direspon dengan buru-buru membentuk Panja yang tak jelas dasarnya," katanya. Menurut Achsanul, tuduhan itu adalah hal biasa jadi biarkan saja. "Komisi XI juga dituduh tapi dibiarkan saja," kata dia.

Sumber : Republika

Anggota DPR Prihatin Penyerapan APBN 2010 Minim

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi memprihatinkan minimnya serapan APBN 2010 pada kementerian dan lembaga yang hingga saat ini baru terserap sekitar 56 persen. "Padahal APBN 2010 akan berakhir hanya tinggal dua pekan lagi. Saya membayangkan serapannya tidak akan berubah jauh," kata Achsanul Qosasi pada diskusi "Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah" di Jakarta, Jumat.

Menurut Achsanul, berita di media massa menyebutkan, dari 56 persen APBN yang terserap sekitar 50 persennya adalah belanja rutin yakni gaji pegawai dan operasional kementerian dan lembaga, sedangkan belanja proyek fisik hanya sekitar enam persen. Kondisi ini, kata dia, memprihatinkan, karena sisa lebih pembayaran (Silpa) APBN 2010 yang akan masuk dalam komponen APBN 2011 menjadi sangat besar. "Minimnya serapan APBN 2010 terutama pada proyek fisik menunjukkan pembangunan fisik di sebagian besar daerah di Indonesia berjalan lamban," katanya. Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat ini memperkirakan, minimnya serapan APBN 2010 ada dua kemungkinan, karena pimpinan proyek di kementerian dan lembaga takut pada sanksi hukum atau karena belum memahami aturannya. Menurut dia, jika pimpinan proyek di kementerian dan lembaga mengalokasikan anggaran dengan tepat waktu, sesuai harga, dan kualitasnya baik, tidak perlu takut pada sanksi hukum. Achsanul menambahkan, jika pimpinan proyek kurang memahami prosedur dan aturan hukum alokasi anggaran APBN maka perlu disosialisasikan lebih intensif.


Achsanul meminta, agar Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melakukan sosialisasi soal penyerapan dana APBN ke kementerian dan lembaga terutama kepada pemerintah daerah lebih gencar lagi. Menurut dia, ketakutan pimpinan proyek di kementerian dan lembaga terhadap alokasi anggaran APBN karena sebagian besar indikasi kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa. "Dari sekitar 7.000 kasus dugaan korupsi, sekitar 70 persennya adalah kasus pengadaan barang dan jasa, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah," katanya.

Sumber : Republika

DPR Ngotot Minta 4 BUMN Asuransi Merger

Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Tim Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Pansus RUU BPJS) bersikeras agar empat BUMN asuransi dapat melebur menjadi satu. Hal tersebut untuk mempermudah pengelolaan dana masyarakat yang nantinya menjadi beban APBN. Anggota Tim Pansus RUU BPJS Achsanul Qasasi mengungkapkan yang menjadi poin pembahasan RUU BPJS adalah bagaimana menyatukan 4 perusahaan plat merah yang bergerak dibidang asuransi dan dana pensiun ini. "Poinnya ini kan menyatukan terlebih dahulu ke-empat BUMN tersebut. Jadi seluruhnya melebur menjadi satu sesuai undang-undang dan ini nanti namanya BPJS," ujar Achsanul ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Senin (22/11/2010).

Ia mengakui tidak akan mudah menggabungkan 4 BUMN yang asetnya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Penggabungan Jamsostek, Asabri (Asuransi Sosial TNI/Polri), Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes), dan Tabungan Asuransi dan Dana Pensiun PNS (Taspen) menurut Achsanul bisa dilakukan secara bertahap. "Memang tidak mudah menyatukan 4 BUMN yang asetnya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Maka dari itu bisa dilakukan beberapa tahapan pertama Askes dan Asabri bisa digabung untuk mengurusi asuransi kesehatan bagi masyarakat, kemudian antara Jamsostek dan Taspen bisa mengurusi dana pensiun dan keselamatan kerja masyarakat," paparnya.

Hal tersebut perlu dilakukan karena menurut Achsanul pengelolaan dana masyarakat yang nantinya diambil melalui APBN tersebut tidak akan mudah. "Hal ini dikarenakan ke-empat perusahaan BUMN itu akan mengelola penjaminan bagi seluruh rakyat Indonesia dan membutuhkan dana APBN yang besar," tegasnya. Achsanul menambahkan, setelah nantinya melebur menjadi satu maka perusahaan itu nantinya akan bertugas mengelola jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia. Nantinya jaminan sosial itu akan memberikan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian.

Sebelumnya, pemerintah dengan tegas menolak usul DPR untuk meleburkan 4 BUMN asuransi yaitu Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. DPR mengusulkan peleburan 4 BUMN asuransi ini tetap berfungsi sebagai BPJS dengan masing-masing tugasnya. Pemerintah juga menyatakan tak akan membuat badan atau lembaga baru yang khusus bertugas sebagai BPJS. Pemerintah tetap teguh menetapkan 4 BUMN asuransi tersebut sebagai BPJS.


Sumber : Detik Finance

Achsanul kosasih "Yang Teriak di Media Mainkan Saham Krakatau Steel"

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi mengatakan penetapan harga saham IPO PT Krakatau Steel (KRAS) jelas dimainkan untuk keuntungan beberapa pihak. "Sudah diduga sebelumnya, harga KRAS sudah melonjak hampir 50 persen, para pialang dan pemain telah berhasil membuat 'pricing image strategy' melalui politisasi saham KS. Saya curiga yang teriak-teriak di media itu punya saham yang 'nomenee' (diatasnamakan orang lain)," kata Achsanul di Jakarta, Jumat (12/11).

Anggota Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, bahwa permainan harga itu terbukti dengan melesatnya harga saham KRAS dari Rp 850 per lembar menjadi Rp1.250 pada hari pertama pencatatannya dan Rp 1.340 pada hari kedua Kamis (11/11) kemarin. "Hampir semua pihak

menjualnya di posisi Rp 1.270, termasuk Credit Suisse yang katanya investor qualified. Coba ditelusuri ke underwriter, siapa-siapa yang punya atau membeli lewat Credit Suise," imbuhnya.

Menurutnya, jika perlu, DPR akan meminta BPK untuk melakukan audit investigasi, baik pada PT KS maupun kepada para underwriter, sehingga dapat diketahui pihak-pihak yang berkepentingan terhadap IPO PT KS. "Saya curiga kementrian BUMN hanya dijadikan alat untuk keserakahan pihak-pihak yang mencari keuntungan singkat melalui KRAS, atau underwriter tidak menginformasikan hal-hal yang sebenarnya terjadi, karena penetapan harga tidak hanya diputuskan oleh Kemeneg BUMN," katanya.

Pada perdagangan hari pertama Rabu (10/11) kemarin, saham PT Krakatau Steel Tbk berkode KRAS ditutup pada posisi Rp 1.270, naik 49,41 persen dibandingkan dari harga pada saat IPO sebesar Rp 850 per lembar. Hal ini, menurut pengamat pasar modal Yanuar Rizky membuktikan penetapan harga IPO KS lebih rendah.

"Kalau saya jadi Menteri, pasti saya akan malu. Karena penerimaan negara dari harga IPO KS lebih rendah dari rata-rata 2,47 persen," tegas Yanuar.

Kenyataan itu menghancurkan kredibilitas penerimaan negara, karena jelas pasar bisa menyerap ke atas, tetapi tidak dioptimalkan diperdagangan saham perdana sebagai tempat negara mendapatkan uang.

Sumber : Republika

Swiss Dukung Penarikan Dana Robert Tantular

Jakarta, 13/10 (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi mengatakan, Pemerintah Swiss mendukung upaya Indonesia untuk menarik dana Robert Tantular yang ditempatkan di Bank Dressner Swiss. Dalam surat elektronik yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, Achsanul Qosasi mengatakan, kepastian dukungan pemerintah Swiss itu diperoleh saat Komisi XI DPR melakukan kunjungan kerja ke Swiss pada minggu lalu.

Ia mengatakan, dalam kunjungan itu, pihaknya telah memanfaatkan waktu yang ada untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan sebagian dana Bank Century yang disimpan di Swiss. Sehingga, katanya, penelusuran dana Bank Century yang tersimpan di Swiss dapat terungkap, dan yang penting adalah dana itu bisa kembali ke pemerintah Indonesia. 

Achsanul mengungkapkan, dasar hukum pemerintah Indonesia untuk menarik dana hasil kejahatan perbankan kasus Bank Century yang dilakukan Robert Tantular senilai Rp1,5 triliun tersebut adalah "Mutual Legal Agreement" (MLA). Menurut dia, untuk segera mewujudkan pengembalian uang Negara itu, maka MLA harus direvisi sehingga pengadilan Indonesia dapat mempertegas bahwa dana tersebut merupakan bagian dari kejahatan perbankan yang dilakukan Robert Tantular. 

Menurut dia, dana sebesar Rp 1,5 triliun milik Robert Tantular ada di Bank Dressner-Swiss, yang merupakan bagian kejahatan perbankan yang ia lakukan. Karena itu, katanya, MLA harus direvisi agar dana itu bisa ditarik ke Indonesia. Terkait upaya percepatan tersebut, ia menegaskan bahwa pihaknya akan mendesak pemerintah untuk secepatnya merevisi MLA dan mengirimkan hasil revisi tersebut ke Swiss. 

Sumber : Antara News

ACHSANUL QOSASI: Perppu Ditolak Pengambilan Keputusan Tetap Sah

Politikindonesia - Kehadirannya sebagai anggota Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) cukup diperhitungkan. Gaya bicaranya teratur, tidak meledak-ledak, namun tetap tajam dan kritis. Tak hanya itu, anggota F-PD dari daerah Pemilihan X (Sampang, bangkalan, Pamekasan dan Sumenep) itu pun tergolong kader yang cinta damai, tak suka ribut-ribut. Lihat saja kiprahnya ketika terjadi perdebatan sengit antara rekan se fraksinya, Ruhut Sitompul dengan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Pansus dari F-PDIP, yang saat itu memimpin Rapat Pansus Century. Achsanul tak sekedar menasihati Ruhut tetapi bahkan menghentikan ocehan Ruhut dengan mematikan mikrofon yang dipakainya. Meski tak berhasil, namun publik mencatat akan upaya yang dilakukannya itu.

Pemahaman di bidang keuangan, menghantarkannya menjadi anggota Pansus Century. Tak hanya itu, ia pun berhasil menduduki jabatan strategis di Komisi XI yang membidangi sektor keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan dan lembaga keuangan non-bank sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

Di luar parlemen, pria berkumis tipis itu pun dipercaya sebagai Wakil Bendahara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), merangkap Deputi Sekjen Bidang Keuangan. Tidaklah mengherankan jika ia begitu faham tentang masalah keuangan.

Bagaimana pendapat Achsanul seputar tanggung jawab pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century hingga mencapai Rp 6,7 triliun itu. Juga bagaimana ia menanggapi kontroversi seputar kebijakan yang tidak dapat dipidanakan serta bagaimana ia menanggapi Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Berikut petikan wawancara singkatnya dengan Sapto Adiwiloso dari [politikindonesia] yang menemuinya sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (26/1)

[Masalah pertanggungjawaban bail out Bank Century kerap menjadi fokus pertanyaan Pansus. Sebetulnya siapa sih yang harus bertanggung jawab dalam persoalan itu?]
Pengambilan keputusan tertinggi dalam kondisi krisis, apakah itu berdampak sistemik atau tidak, itu ada di Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Undang-undangnya memang menyatakan demikian. Jadi kalau Ketua KSSK saat itu harus mengambil keputusan tentang bail out Bank Century, itu memang wewenangnya. Dan Fraksi Partai Demokrat hingga saat ini menyatakan bahwa keputusan itu sudah betul.

[Apa buktinya?]
Lho, buktinya jelas. Dengan pengambilan keputusan itu, krisis keuangan di Indonesia bisa diatasi. Dan Indonesia selamat dari badai krisis yang melanda dunia.

[Bagaimana dengan tanggungjawab Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sampai sekarang juga masih diributkan anggota Pansus yang lain?]
BI itu kewajibannya hanya menetapkan suatu bank itu dinyatakan gagal apa tidak. Sedang keputusan dampak sistemiknya, itu kewenangan KSSK. Jadi harus dipilah-pilah.

[Tapi kan keputusan Bail Out itu didasarkan pada hasil laporan BI?]
Data-data dari BI itu hanya pelengkap pengambilan keputusan. Sedang proses-proses pengambilan keputusan itu ada di BI. Apakah data itu benar apa tidak, BI-lah yang paling tahu.

[Bagaimana anda menanggapi pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat dipidanakan?]
Jika kita bicara undang-undang, memang benar kebijakan publik (public policy) tidak bisa dihukum. Tetapi kalau dalam pengambilan kebijakan itu mengandung unsur-unsur korupsi yang menguntungkan partai, golongan maupun individu Sri Mulyani maupun Boediono itu lain persoalannya. Saya setuju, itu harus dihukum. Sebaliknya, jika unsur itu itu tidak terbukti ya kami pun tidak berani mengada-ada.

[Tetapi sebenarnya ada tidak unsur itu?]
Sampai sekarang, tidak ada

[Apa indikasinya?]
Aliran dananya jelas. Laporan PPATK maupun menegaskan, tidak ada yang lari ke partai maupun para pelaku kebijakan itu. 

[Apa pendapat anda tentang Perppu 4/2008 yang oleh Natabaya (salah satu ahli yang dimintai keterangan Pansus) dikatakan tidak sah?]
Inilah ketidaktegasan DPR kita saat itu. Mestinya kalau ditolak, ya katakan ditolak saja. Jangan ragu-ragu. Karena itu, tidaklah salah jika pemerintah saat itu beranggapan bahwa Perppu itu tidak ditolak. Namun jika saat itupun DPR menolak, pengambilan keputusan bail out terhadap Bank Century tetap sah. Karena itu posisinya di Paripurna berikutnya, September 2009.

Rabu, 01 Desember 2010

Komisi XI melakukan Pengawasan tehadap 3 BUMN

Komisi XI DPR-RI saat ini melakukan program pengawasan terhadap kinerja keuangan dari 3 BUMN, yaitu PT.Kereta Api Indonesia (PT.KAI), PT.Merpati dan PT Angkasa Pura II. PT KAI merupakan perusahaan yang mengelola transportasi massal dimana Komisi XI DPR-RI meminta agar permerintah memberikan perhatian khusus kepada PT KAI. Kaitan dengan pemerintah adalah karena pemerintah diminta untuk menyediakan prasarana yang digunakan oleh PT KAI, sedangkan PT.KAI berkonsentrasi kepada sarana transportasinya saja, sehingga bebann PT.KAI tidak terlalu berat.

Untuk PT Merpati, sebaiknya memang difokuskan pada jalur jalur perintis, sehingga tidak dibebani untuk perolehan labanya. Jadi lebih difokuskan pada layanan penghubung nusantara, terutama untuk daerah daerah yang tidak komersil. Komisi XI DPR-RI siap membantu dalam hal permodalannya. Anggaran yang sudah disetujui sebesar Rp.2,1 Triliun. Selain itu Komisi XI DPR-RI menilai PT.Merpati juga harus bisa melakukan efesiensi. Komisi XI DPR-RI mengapresiasi atas negosiasi ulang yang dilakukan PT.Merpati dalam penyewaan pesawat sehingga dapat menekan biaya sewa sebesar Rp.500 juta. dan juga dalam program leaseback dimana dalam 12 bulan pesawat tersebut dapat dimiliki PT.Merpati.

PT Angkasa Pura II diminta untuk lebih memfokuskan pada pelayanan Bandara yang saat ini dinilai sangat tidak layak sebagai pintu masuk (Gerbang Indonesia), sementara likuiditasnya sangat baik dan memiliki dana tunai yang cukup untuk memperbaiki fasilitas fasilitas Bandara yang sudah mulai kumuh..... Salam AQ