Kamis, 10 Februari 2011

Transfer Pricing

Total subsidi APBN 2011 Rp.93 Triliun diperkirakan akan membengkak sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang saat ini sudah mencapai angka 100U$/barrel. Pemerintah melalui Kementerian ESDM sampai saat ini belum mengambil keputusan terhadap langkah langkah yang seharusnya perlu diambil. Semestinya Kementerian ESDM segera mengambil sikap terhadap program penghematan. Kendaraan pribadi yang menyerap hampir Rp.28 Triliun dari subsidi yang ada harus segera dikurangi, karena telah menghabiskan 14 juta kiloliter dalam 1 tahun (2010). namun jika pembatasan subsidi hanya menghemat kurang dari Rp.5 Triliun, sebaiknya tidak perlu dijalankan, karena dampak nekonomisnya sangat kecil dan hampir tidak dapat dirasakan manfaatnya, sementara dampak politis tentunya akan sangat meluas dirasakan. Dan hal ini akan menjadi diskusi publik dan ujung ujungnya akan mendeskreditkan pemerintah juga. Kita jangan sampai terjebak dalam memikirkan penghematan atau pengurangan biaya saja, sementara kita belum maksimal dalam memikirkan tentang peningkatan penerimaan pemerintah (goverment income)

Partai Demokrat telah seringkali meneriakkan kasus "Transfer Pricing" dalam sidang Paripurna DPR-RI, Demokrat sudah meminta Kementerian Keuangan (cq. Dirjen Pajak) untuk membuat direktorat khusus yang khusus menangani "Transfer Pricing". Sejumlah perusahaan multinasional yang ada di negeri ini telah membebankan biaya biaya yang justru seharusnya dibebankan kepada induk perusahaannya di luar negeri. Sehingga perusahaan perusahaan tersebut memiliki biaya yang tinggi untuk membayar kewajiban kewajibannya yang semestinya tidak dibiayai oleh negara, akibat dari hal ini adalah laba perusahaan menjadi kecil dan secara otomatis pajakpun menjadi kecil, bahkan terkadang dibuat rugi, agar bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak. hal hal seperti ini harus disikapi dengan serius, sehingga kebutuhan negara untuk melayani rakyatnya akan dapat lebih optimal

Saya akan mengusulkan agar DPR lebih aktif melakukan pengawasan, guna mendesak pihak pemerintah dapat lebih serius dalam menangani permasalahan "Transfer Pricing" ini.

Salam, Achsanul Qosasi ( Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI)

Senin, 31 Januari 2011

PRESTASI DALAM GANGGUAN DAN BENCANA

Indonesia sudah memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara. SBY sebagai presiden pertama pilihan rakyat telah berhasil melewati sejumlah lintasa kritis dalam berdemokrasi. Kebebasan yang kadang cenderung ke"bablas"an telah membuat bangsa ini semakin mengerti dalam bersikap. Proses pembelajaran demokrasi yang diiringi juga oleh krisis ekonomi, bencana alam, dan juga warisan korupsi dapat kita lalui tanpa dampak yang berarti pada krisis sosial. Bagaimanapun, itu adalah keberhasilan...

Walaupun rakyat masih menuntut percepatan, tapi itu hanya terletak pada reformasi birokrasi yang sampai saat ini belum selesai. Pada saatnya nanti, negeri ini akan "bergeliat" dengan sejumlah kekuatan yang ada dan perubahan yang sudah hampir selesai.

Recovery ekonomi kita adalah yang terbaik setelah China, Brazil dan India. Kita saat ini sudah lepas dari cengkraman IMF. Proses demokrasi kita diapresiasi oleh dunia internasional. Minat investasi dari luar negeri meningkat tajam, nilai tukar dan inflasi terkendali, indeks korupsi semakin turun. Semua ini memang bukan pekerjaan mudah, karena dijalankan bersamaan dengan berbagai macam krisis dan juga bencana alam, termasuk juga gangguan politik yang menghambat kinerja SBY. Harapan rakyat memang tidak mungkin tercapai dengan sempurna, tapi proses ke arah itu sudah terlihat nyata, karena pekerjaan Pemerintahan SBY memang belum selesai.

Wassalam, Achsanil Qosasi (Wakil Komisi XI DPR-RI F-PD Dapil Madura-Jatim) 

GAJI PRESIDEN TIDAK PERLU NAIK

Dalam APBN 2011 tidak diagendakan kenaikan gaji pejabat tinggi negara. Dalam konteks APBN, kemampuan negara dan income perkapita, gaji presiden dan pejabat negara saat ini masih memadai dan masih dalam taraf wajar, sehingga tidak perlu adanya kenaikan gaji.

Justru kita harus menaikan porsi belanja modal, karena saat ini belum berimbang antara belanja modal dan belanja pegawai. Secara bertahap harus diadakan penyesuaian, dimana belanja modal harus lebih tinggi daripada belanja pegawai, sehingga perputaran dana bisa lebih banyak yang akan berdampak pada lapangan kerja. Selain itu dalam RKP (Rapat Kerja Pemerintah) 2011 juga harus menitikberatkan pertumbuhan yang berkeadilan, dimana harus terjadi sinkronisasi antara kepentingan pusat dan daerah atau sebaliknya, Daerah yang harus lebih proaktif, karena Sumber Daya Alam (SDA) adanya di daerah dan menjadi kewenangan kepala daerah yang bersangkutan. Pemerintah Pusat hanya mendorong dari segi regulasi agar terjadi keseimbangan dan pemerataan pembangunan

Percuma kita tumbuh, tapi keadilan terabaikan. Ini harus menjadi perhatian kita bersama.

Wassalam, Achsanul Qosasi (Wakil Komisi XI DPR-RI - FPD Dapil Madura-Jatim)

Kamis, 09 Desember 2010

Komisi XI Bantah Ada Potensi Koruptif dalam Pembahasan UU

Jakarta - Komisi XI DPR tak masalah dengan masuknya KPK dalam pembahasan sejumlah UU di DPR. Namun, selama ini Komisi XI DPR tidak melihat adanya potensi koruptif dalam pembahasan UU. UU yang disinggung-singgung berbau koruptif dan pro-kepentingan asing yang sedang digarap oleh Komisi XI DPR adalah UU Akuntan Publik. Komisi XI menjamin DPR tak membela kepentingan apapun dalam pembahasan UU ini. "Ada baiknya teman-teman komisi di DPR tidak turut mengomentari tentang pembahasan UU yang sedang dalam pembahasan Komisi XI, apalagi yang tidak terlibat langsung dan tidak mengetahui langsung semangat perjuangan dan proses penyusuan UU tersebut," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi, kepada detikcom, Selasa (30/11/2011).

Menurut Achsanul, RUU AP saat ini sedang memasuki tahapan strategis dalam pembahasan Panja di komisi XI. Dia mengimbau semua kalangan agar bersabar dan mempercayakan sepenuhnya kepada DPR. "Jadi sangat menyakitkan jika ada tuduhan keji tersebut. Bagi yang menuduh semoga saja diampuni dosanya. Bagi yang kami dituduh dan dicurigai, semoga kami dapat pahala," katanya. Achsanul pun mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut mengawasi proses pembuatan UU itu. Namun, diharapkan KPK melakukan sesuai prosedur dan kewenangan yang tepat. "Silakan saja, kami turut menyambut dan ikut mendorongnya pula ada pengawasan dari KPK," terangnya.

Saat ini, RUU AP tinggal membahas empat hal, yaitu tentang lembaga council, kordinasi pengawasan, pembatasan akuntan asing, dan masalah pidana. Achsanul menjamin UU ini tidak dibuat atas nama kepenting asing. "Dan saya jelaskan bahwa RUU AP ini justru kita ingin membatasi ruang gerak akuntan asing di Indonesia. Kita ingin dominasi empat perusahaan asing di Indonesia diperkecil," tandasnya.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy melihat perlunya kehadiran KPK dalam pembahan RUU. Sejumlah UU dirasakan berpotensi disalahgunakan dan merugikan negara. Tjatur menyebut UU pertambangan, infrastruktur, perpajakan, dan akuntan publik, perlu dikawal.

Sumber : Detik News

OJK Akan Punya Kewenangan Penyidikan

Jakarta -Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang Undang Otoritas Jasa Keuangan Achsanul Qosasi mengatakan nantinya lembaga Otoritas Jasa Keuangan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan harus punya posisi yang kuat. Ini mengingat dinamika sektor keuangan yang begitu pesat perkembangan namun fungsi regulasinya dinilai sangat lemah. “Jadi kita ingin OJK ini sepenuhnya kuat, dan UU ini tidak mandul” katanya di sela-sela rapat Pansus RUU OJK di Hotel Aryaduta, Kamis (2/12).

Menurut Achsanul penyidikan yang dimiliki OJK punya peran penting sehingga jangan sampai kasus criminal di sektor keuangan dibawa ke lembaga yang tidak sepenuhnya memahami sektor finansial. “Tidak semua otoritas hukum memahami betul tentang kondisi keuangan,” katanya.  Sebenarnya, kata dia fungsi penyidikan juga sudah terdapat di lembaga pemerintah lainnya, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

Menurut Achsanul, aparat penyidik di OJK berasal dari pengawai negeri sipil dan kepolisian. Tentang hal ini, kata Achsanul akan masih dibicarakan, jangan sampai saat sedang melakukan penyidikan ditarik oleh kesatuannya di Kepolisian. “Tapi ini bukan masalah besar, karena nanti akan dikunci di pasal-pasal,” katanya. Hal ini diungkapkan Achsanul, berkaitan rencana pertemuan Pansus RUU OJK dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, yang semula dilakukan pada Rabu (1/12) malam, namun belakangan batal dilaksanakan. 

Sumber : Tempo Interaktif

Achsanul: Pembentukan Panja IPO Krakatau Steel Tergesa-gesa

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasih menilai, rencana Komisi VI DPR membentuk Panitia Kerja "Initial Public Offering" PT Krakatau Steel, terlalu tergesa-gesa dan belum memiliki landasan data yang kuat."Jika Komisi VI DPR terus memaksakan membentuk Panja (Panita Kerja) IPO Krakatau Steel, hanya akan menjadi 'macan ompong'," kata Achsanul Qosasi, di Jakarta, Jumat. Menurut Achsanul, Komisi VI DPR RI hanya akan berteriak tapi tidak ada hasilnya.

Persoalan IPO Krakatau Steel yang ramai saat ini hanya merupakan "blow up" dari pernyataan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang kemudian menjadi polemik di media massa, tapi tanpa didukung data-data yang konkrit. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat ini menegaskan, hingga saat ini belum ada laporan dari Bapepam LK bahwa telah terjadi penyimpangan pada proses IPO KS. "Panawaran harga IPO KS sebesar Rp850 per lembar tidak menyimpang, karena masih dalam kisaran harga yang telah disetujui oleh DPR RI periode 2004-2009, yakni pada kisaran Rp800 hingga Rp1.200 per lembar," katanya. Jika memang sudah ada penyimpangan dan ada datannya secara konkrit, menurut dia, silakan Komisi VI DPR RI membuat Panja IPO KS. Achsanul mengingatkan, Komisi VI belum perlu membentuk Panja IPO KS karena indikasi penyimpangan belum ada tapi baru sebatas polemik di media massa. Ia menyarankan, sebaiknya Komisi VI DPR menunda membentuk Panja IPO KS karena tidak memiliki landasan data informasi yang akurat dari lembaga yang berwenang pada IPO KS. "Jika hanya sebatas rumor di media massa, sangat lemah jika akan diungkap dalam Panja," katanya.

Jika Komisi VI DPR RI ingin membentuk Panja IPO KS, Achsanul mengusulkan, hendaknya Komisi VI meminta data pada Bapepam LK dan BPK, kemudian menelaah lebih lanjut apakah ada pe nyimpangan atau tidak. Jika ditemukan ada indikasi penyimpangan silakan dibuat Panja, tapi jika tidak ada indikasi penyimpangan sebaiknya tidak membentuk Panja. Menurut dia, Komisi VI DPR terburu-buru akan membentuk Panja IPO KS karena merasa tertuduh dalam permainan ini. "Adanya tuduhan kepada Komisi VI hendaknya tidak direspon dengan buru-buru membentuk Panja yang tak jelas dasarnya," katanya. Menurut Achsanul, tuduhan itu adalah hal biasa jadi biarkan saja. "Komisi XI juga dituduh tapi dibiarkan saja," kata dia.

Sumber : Republika

Anggota DPR Prihatin Penyerapan APBN 2010 Minim

JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qosasi memprihatinkan minimnya serapan APBN 2010 pada kementerian dan lembaga yang hingga saat ini baru terserap sekitar 56 persen. "Padahal APBN 2010 akan berakhir hanya tinggal dua pekan lagi. Saya membayangkan serapannya tidak akan berubah jauh," kata Achsanul Qosasi pada diskusi "Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah" di Jakarta, Jumat.

Menurut Achsanul, berita di media massa menyebutkan, dari 56 persen APBN yang terserap sekitar 50 persennya adalah belanja rutin yakni gaji pegawai dan operasional kementerian dan lembaga, sedangkan belanja proyek fisik hanya sekitar enam persen. Kondisi ini, kata dia, memprihatinkan, karena sisa lebih pembayaran (Silpa) APBN 2010 yang akan masuk dalam komponen APBN 2011 menjadi sangat besar. "Minimnya serapan APBN 2010 terutama pada proyek fisik menunjukkan pembangunan fisik di sebagian besar daerah di Indonesia berjalan lamban," katanya. Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat ini memperkirakan, minimnya serapan APBN 2010 ada dua kemungkinan, karena pimpinan proyek di kementerian dan lembaga takut pada sanksi hukum atau karena belum memahami aturannya. Menurut dia, jika pimpinan proyek di kementerian dan lembaga mengalokasikan anggaran dengan tepat waktu, sesuai harga, dan kualitasnya baik, tidak perlu takut pada sanksi hukum. Achsanul menambahkan, jika pimpinan proyek kurang memahami prosedur dan aturan hukum alokasi anggaran APBN maka perlu disosialisasikan lebih intensif.


Achsanul meminta, agar Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melakukan sosialisasi soal penyerapan dana APBN ke kementerian dan lembaga terutama kepada pemerintah daerah lebih gencar lagi. Menurut dia, ketakutan pimpinan proyek di kementerian dan lembaga terhadap alokasi anggaran APBN karena sebagian besar indikasi kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa. "Dari sekitar 7.000 kasus dugaan korupsi, sekitar 70 persennya adalah kasus pengadaan barang dan jasa, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah," katanya.

Sumber : Republika