Kamis, 27 Mei 2010

Pemberdayaan Ekonomi Petani Tembakau?


Pemberdayaan Ekonomi Petani Tembakau?
Oleh Achsanul Qosasi

Cukup mengharukan. Itulah kalimat yang sangat mungkin muncul dari sebagian publik atas realitas bantuan 270 ekor sapi ke tengah masyarakat Madura dengan alamat petani tembakau di tiga kecamatan (Camplong, Omben dan Skobanah). Bantuan yang bernilai sekitar Rp 3 milyar itu pada dasarnya merupakan dana bagi hasil cukai Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tujuan utama untuk meningkatkan taraf  hidup petani tembakau Madura. Sebuah kebijakan untuk mengalihkan sektor kegiatan dari pertanian ke peternakan? Dan yang jauh lebih penting, bagaimana mengefektifkan program bantuan Dinas Peternakan Pemprov. Jatim itu?

Agak unik memang jika kita analisis “warna” kebijakan bantuan sapi itu. Sebab, terlihat indikasi kontras “penyeberangannya”. Dengan sederhana, kebijakan itu dapat kita “konfrontir”dengan uji pertanyaan, “Jika memang ingin memberdayakan masyarakat petani tembakau, mengapa bukan jenis bantuan yang – secara langsung – menyentuh sektor pertaniannya, mulai dari varietas unggul tembakau, perluasan lahan untuk tembakau, dan lainnya yang dapat menunjang produktivitasnya. Dari keunikan ini, kita dapat membaca sisi lain: bantuan sapi itu – sangat boleh jadi – dipaksakan. Atau, memang untuk “menghabiskan” anggaran.

Penilaian itu bisa dinilai berlebihan atau overprojudice. Dengan kaca mata positivistik, kita dapat membaca bahwa kalangan petani tembakau – ditambah unsur keluarganya – relatif masih punya waktu luang. Jadi, terdapat nuansa pemikiran bagaimana mengisi waktu secara maksimal: di satu sisi, tetap aktif dan produktif di sektor pertaniannya (tembakau), di sisi lain, berhasil mengembangkan budidaya sapi, mulai dari penggemukan, perah susu, sampai kemungkinan kegiatan sapi potong dan akhirnya “ekspor” ke tingkat lokal atau negeri lain.

Kiranya, konsep maksimalisasi itu sungguh berarti bagi upaya meningkatkan taraf hidup keluarga petani. Sebuah catatan, mengapa para petani tembakau yang mendapat bantuan? Dengan sederhana kita dapat mencatat bahwa alamat bantuan (petani tembakau) ini merupakan sikap terima kasih yang bersifat timbal balik antara kepentingan produsen rokok dengan para pemasok bahan baku yang memang berasal dari petani tembakau. Sikap “terima kasih” para produsen rokok perlu kita apresiasi secara positif-konstruktif. Dengan apresiasi itu, kegiatannya di sektor pertanian tembakau tetap semangat dan produktif. Dan kian semangat sejalan dengan adanya apresiasi (bantuan sapi) yang ternyata diprediksikan dapat menaikkan taraf hidup keluarga petani tembakau itu.
Sebuah sikap “politik” yang harus dibangun adalah bagaimana merancang-bangun bantuan sapi dapat menjadi faktor penggerak ekonomi ke masyarakat lain, baik petani tembakau dan non tembakau, keluarga penerima bantuan dan selain penerima. Ada efek sosial-ekonomi yang terlihat jelas. Sebuah gambaran konkretnya adalah, kegiatan penggemukan apalagi sampai pada kegiatan perah susu, hal ini praktis memerlukan sejumlah tenaga. Dari pemikiran ini, maka muncul pemikiran, apakah 90 ekor yang siap dibagikan ke setiap kecamatan itu harus dibagi habis ke setiap individu petani tembakau, atau dihimpun menjadi tiga kelompok, misalnya?

Jika konsepnya “himpunan” dan hal ini pemiliknya tetap para petani tembakau yang memang menjadi penerima, maka akan terjadi kekuatan ekonomi strategis yang akan segera menggeliat. Kegiatan penggemukan, misalnya, terpantau dengan baik dan hal ini berpotensi bagus bagi posisi harga per ekornya. Jika programnya sampai pemerahan susu, hal ini akan jauh lebih baik pendapatannya. Bukanlah tak mungkin, hasil perah susu dari himpunan petani sapi ini akan menjadi pemasok utama industri-industri susu olahan. Di sanalah kita dapat bayangkan efek ekonomi yang dapat memberdayakan, tidak hanya bagi penerima bantuan sapi itu, tapi juga masyarakat lainnya.

Kini, yang perlu kita bangun adalah, bagaimana model apresiasi produsen rokok itu juga diikuti oleh sejumlah produsen lain, sehingga para petani di sektor apapun dapat lebih meningkat lagi taraf hidupnya. Tak dapat disangkal, model apresiasi dapat berjalan efektif dan maksimal jika terdapat kondisi ketergantungan. Kondisi ini sesungguhnya bisa juga terjadi di luar produsen rokok. Sebagai ilustrasi faktual, produsen makanan dan atau minuman, hampir seluruhnya membutuhkan pasokan bahan baku dari kalangan petani.

Realitas pasokan bahan baku itu harusnya dapat dikonstruksi dalam format kebijakan agar produsen pangan manapun senantiasa bergantung pada kegiatan petani. Di sinilah urgensinya membangun sistem pasar terkendali, bukan dalam kerangka memonopoli barang pertanian, tapi pengaturan agar hasil pertanian mempunyai nilai tawar yang relatif lebih baik di mata industri makanan dan minuman. Sistem pasar terkendali itu bisa terwujud jika Pemerintah bersama petani mampu menset up produk pertanian dan sistem distribusinya. Inilah tantangan tidak mudah, karena – di hadapannya – senantiasa hadir tengkulak di sentra manapun. Di sisi lain, tidak mudah pula sebagian besar masyarakat petani dirancang untuk membangun lembaga tertentu seperti koperasi. Sebagian mereka belum menyadari arti dan peran strategis kelembagaan ekonomi yang sesunguhnya dapat meningkatkan posisi tawarnya, sehingga berpotensi untuk menaikkan taraf hidup keluarganya. Mereka yang tercatat petani sudah saatnya terjauh dari status miskin sebagaimana yang kita kenal selama ini.

Karenanya, program bantuan sapi – atas kerjasama produsen rokok atau siapapun – sungguh bermakna konstruktif untuk meningkatkan taraf hidup keluarga petani. Kini, sebuah urgensi yang harus dilakukan adalah bagaimana mengefektifkan bantuan sapi itu. Dalam hal ini ada beberapa hal mendasar yang harus kita catat, bagaimana sasaran penerimanya. Sebuah sikap yang harus disikapi serius adalah jangan sampai terjadi kolusi sehingga tidak terjadi penerima rangkap, karena faktor hubungan keluarga dan hal-hal lain yang menyalahi tujuan utama banguan itu. Dalam hal ini, masalah pengawasan menjadi krusial.

Langkah pengawasan menjadi agenda inheren sejalan dengan masih kuatnya budaya penyalahgunaan sejumlah oknum. Karenanya, ada beberapa komponen yang perlu dilibatkan dalam gerakan pengawasan itu. Dalam hal ini masing-masing Dinas Peternakan Kabupaten perlu memantau arus barang (bantuan sapi) apakah benar-benar sampai ke alamat yang dituju. Masyarakat awam dan pers pun perlu ikut memantaunya. Dan yang cukup strategis perannya adalah aparat kepolisian. Mereka perlu diajak “kerjasama” untuk ikut memantau kinerja distribusi bantuan sapi itu. Jika memang menyalahi prinsip utama, kiranya perlu tindakan tegas. Kriminalisasi adalah tindakan prosedural, bukan semata-mata penegakan hukum, tapi idealitas peningkatan taraf hidup masyarakat.

Akhirnya, bantuan sapi kepada petani tembakau – secara teoritik – bisa memberi makna konstruktif, tidak hanya para petani tembakau, tapi siapapun yang terlibat dalam kegiatan ekonomi peternakan itu. Dan yang teramat penting adalah bagaimana bantuan sapi itu menjadi model pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. Inilah sikap pro-poor yang lebih riil, bukan hanya cuap-cuap. Sebuah kerja nyata.

Jakarta, 17 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Kamis, 20 Mei 2010

Demokrat: Jangan Ragukan Agus Martowardoyo


Fraksi Partai Demokrat tidak meragukan kredibilitas dan kinerja Menkeu baru Agus Martowardoyo yang menggantikan posisi Sri Mulyani.

"Pak Agus karena dia orang moneter maka jangan diragukan," ujar anggota FPD dari Komisi XI Achsanul Qosasi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/5).

Apalagi, menurut Achsanul Agus dengan pengalamannya yang pernah menjabat sebagai dirut di beberapa bank. Kemudian, hubungan lintas departemen dipegangnya dengan baik. Selain itu mempunyai keteguhan hati dalam bersikap yang tidak bisa diintervensi.

"Seperti Sri Mulyani. Apalagi di perbankan dia orang berpendirian dengan yakin," tuturnya.Menkeu baru harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan keuangan, negara dan rakyat. Karena masih banyak pekerjaan rumah yang ada didepan.

"Yaitu reformasi perpajakan, penerimaan negara dan lainnya," tandas Achsanul. [mvi/ikl]

Selasa, 18 Mei 2010

Achsanul Qosasi Pertanyakan Dasar SP3 Kasus BLBI


Senayan - Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi mengharapkan untuk membuka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI. Selain itu, dirinya ingin mengetahui dasar pengeluaran Surat Keterangan Lunas (SKL).

"Ya kita mau semua transparan, apa dasar SP3 itu. Kalau memang orang salah kan harus dihukum ya," kata Achsanul kepada Jurnalparlemen.com, di gedung DPR, Selasa (9/2).

Achsanul mengungkapkan KPK seharusnya bisa melakukan beberapa tindakan strategis untuk membuka kasus yang mengalami dua kali SP3 terhadap dugaan wanprestasi sebesar Rp 4,758 triliun yang dilakukan Sjamsul Nursalim.

"Kita kan juga ingin tahu dasarnya SKL itu, kalau semangatnya uang dan ada indikasi korupsi disana ya kita mau untuk ditindaklanjuti. Namun kalau semangatnya untuk penyelamatan ekonomi ya lain soal," ujarnya.

Sementara terkait kasus Agus Condro, Achsanul mengatakan sebaiknya KPK bisa bekerja efektif dan segera mengungkap semua pihak yang diindikasikan terlibat dalam skandal pemilihan Deputi Senior BI Miranda S Goeltom.

"Ya kita harap KPK bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, bagi siapa saja yang terlibat tentunya harus mendapatkan konsekuensi. Tidak peduli siapapun itu, karena ini juga semangat presiden SBY dalam pemberantasan korupsi," tukasnya.
(rif/bal)

Selasa, 11 Mei 2010

GTT Madura: Menanti Kebijakan Manusiawi


GTT Madura: Menanti Kebijakan Manusiawi
Oleh Achsanul Qosasi

Perbulan hanya terima “gaji” sebesar Rp 250.000,-/bulan. Ada yang lebih kecil lagi: hanya terima Rp 170.000,-/bulan. Bahkan, ada juga yang jauh lebih kecil: terima Rp 42.000,-/bulan. Ada pula, yang tidak menerima hasil pengabdianya selama sekitar tiga bulan berturut-turut. Itulah nestapa guru tidak tetap (GTT) di belahan Pulau Madura, antara lain, di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Tak bisa kita bayangkan, bagaimana para “pahlawan tanpa tanda jasa” itu bisa bertahan hidup, apalagi harus konsentrasi menjalankan tugas sucinya: mengajar dan mendidik.

Pendapatan para tenaga honorer itu layak harus kita perhatikan, bukan sekedar empati, tapi bagaimana memperjuangkan hak-hak kamanusiaannya. Bukan hanya persoalan hak keadilan yang bersifat politis, tapi di pundaknya terpanggul beban suci nan berat, karena negeri ini harus mampu menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas. Tak dapat disangkal, lembaga pendidikan menjadi tumpuan untuk agenda besar itu. Dan untuk mewujudkannya, maka tenaga insan pendidik – yang tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupun GTT – harus mendapatkan hak-haknya yang proporsional seiring dengan perkembangan zaman (tututan kebutuhan, minimal, mencapai 10 bahan pokok).

Kita perlu merenung, apa yang bisa diharapkan dengan tingkat pendapatan sekecil itu? Allah memang Maha Kuasa. Dengan serendah itu pendapatannya, ternyata mereka masih bisa bertahan hidup, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga anak-istrinya. Subhanallah. Itulah keaguangan-Nya.

Tentu, bukan hanya sikap religiusitas yang perlu kita ekspresikan sebagai rasa kagum kita. Yang jauh lebih mendasar dan harus diperjuangkan adalah bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka agar – di satu sisi (kemanusiaan) – dapat terpenuhi. Di sisi lain – yakni misi pendidikan (membangun kecerdasan seperti yang diamananatkan UUD 1945 – juga tercapai. Karena itu, sikap politik kita adalah bagaimana mengekspresikan penghargaan itu kepada kepentingan GTT yang jumlahnya tidak kecil. Di Kabupaten Sampang saja, jumlahnya mencapai kisaran 3.200 orang. Dan di Pamekasan – sampai tahun 2009 – berjumlah sekitar 6.500 orang.

Kini, yang diperlukan adalah bagaimana berbagai elemen memperjuangkan hak-hak kemanusiaan kaum GTT, termasuk staf tidak tetap (STT). Dalam hal ini, pendekatannya tidak boleh hanya formalistik. Artinya, GTT tidak dikenal dalam politik anggaran, maka APBD tidak bisa menganggarkan. Pemerintah Kabupaten pun – karena terbentur PP No 48/2008 – pun tidak bisa mengalokasikan anggaran untuk GTT. Jika memang, kendala yuridis ini menjadi persoalan, maka mengapa DPRD bersama Pemerintah Kabupaten tidak mencari terobosan konstruktif untuk membangun misi kamanusiaan, apalagi terkait dengan amanat UUD 1945, yakni pencerdasan anak bangsa yang menjadi hak masing-masing individu.

Kiranya, perlu dijadikan pertimbangan mendasar, data faktual di lapangan, di tengah Madura masih kekurangan guru. Sebagai gambaran, di wilayah utara seperti Sampang, dalam satu sekolah, maksimal hanya memiliki tiga guru PNS. Artinya, kekurangan guru PNS ini teratasi dengan keterlibatan GTT. Karenanya, sungguh ironis jika peran konsruktif GTT diabakan. Di sisi lain – dan hal ini kiranya bisa membangkitkan kecemburuan serius di tengah para GTT/STT – bahwa alokasi anggaran pendidikan yang berhasil dirancang DPR RI bersama Pemerintah (Departemen Pendidikan) untuk 2010 ini mencapai Rp 225,2 trilyun, naik Rp 15,69 trilyun dari alokasi anggaran tahun lalu.

Yang harus dicermati, dari anggaran yang cukup “memukau” itu, sebesar Rp Rp 127,8 triyun ditransfer ke daerah. Artinya, di samping teralokasi untuk seluruh Nusantara, masing-masing Dinas Kabupaten, di tengah Madura pun bisa berharap kucuran dana taktis dan lain-lain. Sekarang, bagaimana masing-masing Dinas Pemkab di Madura dapat menterjemahkan kebijakan anggaran Pusat itu. Dan tak kalah krusialnya adalah bagaimana masing-masing Pemkab dan DPRDnya berusaha semaksimal mungkin merespons positif atas nestapa kalangan GTT/STT. Inilah pentingnya empati kalangan birokrat dan politisi di tengah Madura yang harus diperlihatkan.

Jika tidak, maka bukanlah mustakhil, generasi Madura akan surut ke belakang karena kehilangan peran kaum GTT yang sejauh ini telah memberikan kontribusi konsruktif bagi dunia pendidikan di Pulau “Garam” ini. Perlu kita catat, di tengah minusnya perhatian itu, output pendidikan di tengah Madura relatif masih bisa dibanggakan. Sebagai gambaran obyektif sekaligus komparasi, tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) masih bisa membuat lega bagi para siswa dan tentu para guru dan orang tuanya. Bagaimana tidak, dengan minimnya perhatian terhadap kaum pengajar, tapi tingkat kelulusannya mencapai 98,794%. Ilustrasi yang terjadi di Sampang ini lebih tinggi dibanding tingkat kelulusan UN untuk seluruh Jawa Timur yanga mencapai 92,798%.

Sebagai orang Madura, kita memang layak bangga. Tapi, sebagai orang Madura pula sudah seharusnya sedih. Karena, kecilnya perhatian terhadap GTT atau guru pada umumnya bisa menjadi faktor destruktif bagi kepentingan pengembangan dunia pendidikan di tengah Madura. Inilah yang harus menjadi kepentingan bersama sebagai sesama keluarga besar Madura. “Ayo kita bangun kebersamaan, sinergis untuk menggolkan komitmen besar, agar kalangan GTT bahkan STT terperhatikan, sehingga akan lahir harapan besar: generasi Madura bukan hanya berhak mendapatkan kue pendidikan, tapi juga berkualitas. Era mendatang sangat kompetitif. Dan hanya sumber daya insani unggul itulah yang bakal memenangkan kompetisi itu, di kancah manapun. Itulah sebabnya, GTT Madura – kiranya para guru lainnya – terus menanti kebijakan manusiawi. Semoga segera terwujud. Amien.

Jakarta, 9 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Demokrat 

Senin, 10 Mei 2010

Menyongsong Deputi Gubernur BI


Menyongsong Deputi Gubernur BI
Oleh Achsanul Qosasi

Lobi kian gencar. Arahnya menggolkan kandidatnya: Halim Alamsyah (Direktur Direktorat Penelitian dan Pengawasan BI), Perry Warjiyo (Direktur Riset Kebijakan Moneter BI) dan Krisna Wijaya (Komisaris PT Bank Danamon, Tbk). Itulah yang dilakukan para “tim sukses” mereka dalam mendekati sejumlah anggota dan pimpinan Komisi XI DPR RI untuk menggapai posisi Gubernur Bank Indonesia (BI). Wajar. Tapi, yang perlu kita soroti tegas, akankah terjadi nuansa gratifikasi seperti yang pernah terjadi pada masa lalu?

Pertanyaan itu menjadi krusial untuk kita kritisi sejalan dengan gerakan gratifikasi (upaya mengkooptasi anggota dan pimpinan Komisi XI) sudah terlihat sinyal-sinyalnya. Di antara tim suksesnya tampak aktif menghubungi sejumlah anggota dan pimpinan Komisi XI DPR RI. Jika “diladeni”, sangat mungkin mempengaruhi proses fit and poper test (uji kepatutan). Bukan prosedurnya, tapi hasilnya yang tidak sesuai harapan ideal. Tim uji kepatutan – sekali lagi, jika sudah terkooptasi – sangat mungkin tidak atau segan menyampaikan sikap kritisnya. Sama artinya, proses uji kepatutan itu hanyalah formalitas. Implikasinya, mengabaikan kandidat Deputi Gubernur BI yang benar-benar dicari karena kapasitasnya yang mumpuni, dari sisi kualitas pengetahuan, teknis-operasional, bahkan – dan hal ini yang lebih penting – integritas dan dedikasinya untuk kepentingan naional.

Harus kita garis-bawahi, saat ini dan ke depan, BI diperhadapkan tantangan internal dan eksternal yang luar biasa pelik. Di lingkungan BI sendiri, ada problem serius bagaimana membangun sistem kerja agar dapat berjalan maksimal, efektif. Berkaca pada kasus Bank Century, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang indikasi ketidakdisiplinan (penyalahgunaan wewenang), sehingga tampak membiarkan data sebuah bank seperti Bank Century yang jelas-jelas “sakit”. Kebertahanan operasi Bank Century tidak akan pernah terjadi jika pejabat terkait fungsi pengawasan tidak terkecoh oleh gerakan kolusi yang terbangun dengan pihak pengelola dan pemilik Bank Century itu. Harus jujur kita catat, Pak Budiono yang tercatat bersih itu, saat menjabat Gubernur BI tampak “termainkan” oleh jajaran di bawahnya, sehingga data “busuk” Century tidak sampai ke tangan beliau. Akibat “main mata” yang terjadi, BI benar-benar terkena badai. Pemerintah pun menjadi tertuding. Sungguh tidak sehat dan memprihatinkan.

Menggaris-bawahi kasus Bank Century itu, kini ada kebutuhan mendesak bahwa kandidat Deputi Gubernur BI sebagai komponen dari Dewan Bank Sentral – secara konsepsional dan operasional – harus mampu memimpin bidangnya dan diterima di lingkungan internalnya. Akseptabilitas ini akan menumbuhkan kewibawaan tersendiri, sehingga jajarannya bukan hanya loyal dan disiplin dalam bekerja, tapi juga tidak berani “neko-neko” (bersekongkol) dengan pihak manapun. Untuk mencapai situasi kerja seperti ini, maka ada sebuah kebutuhan urgen dalam pemilihan Deputi Gubernur BI saat itu. Yaitu, ia haruslah seorang figur pemimpin. Masalah kepemimpinan di tengah BI saat ini sungguh diperlukan. Ia bukan hanya mumpuni pengetahuan teknis operasional dunia perbankan dan sistem moneter, tapi ia juga disegani seluruh komponen institusinya.

Kepemimpinannya yang efektif akan memudahkan Deputi Gubernur menginstuksikan apapun yang dikehendaki sepanjang terkait dengan urusan tugas. Dan yang lebih krusial adalah instruksi khususnya terkait pembenahan moralitas atau kedisiplinan kerja. Perlu kita catat, aspek ini kini menjadi garda bagaimana mengkonstruksi BI yang lebih nasionalis: mengedepankan kepentingan bangsa-negara daripada pemenuhan kepentingan sempit dirinya. Inilah urgensi reformasi birokrasi di tengah BI. Harus kita catat, tidak mudah untuk membenahi aspek moralitas itu. Sementara kita tahu, masalah kolusi tidak kecil nilai kompensasinya, sehingga terus menggoda, padahal tingkat gaji tidak kecil: berkisar antara Rp100 – 120 juta/bulan, belum fasilitas lainnya cukup fantastik.

Deputi Gubernur BI mendatang juga harus berhadapan dengan arus kuat internal BI. Seperti kita ketahui, saat ini sedang digodok lembaga pengawasan yang idealnya terpisah dari institusi BI. Salah satu fungsinya – yakni pengawasan – dipisahkan. Dan BI dirancang untuk lebih konsentrasi pada upaya membangun stabilitas moneter. Urusan teknis pengawasan perbankan tidak lagi dalam otoritasnya, tapi diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus kita catat, proposal ini cenderung ditampik oleh orang-orang BI dan hal ini sudah terlihat dalam fit and proper test pada 5 Mei kemarin. Tentu ada alasan krusial. Tapi, jika kita analisis secara spesifik, kita bisa menangkap nuansa rasa takut kehilangan “kue besar” yang bersifat kolutif atau konsesional lainnya sebagai implikasi peranannya menjalankan fungsi pengawasan, terutama kepada industri perbankan.

Kondisi itu menggambarkan adanya situasi internal BI yang sesungguhnya resisten terhadap proposal pemisahan fungsi pengawasan itu. Lalu, bagaimana Deputi Gubernur BI yang baru bersama deputi-deputi lainnya mampu menghadapi arus kuat yang cenderung mempertahankan fungsi pengawasan? Sementara itu, tim fit and proper test DPR lebih menghendaki pemisahan itu. Jika sang kandidat tidak sejalan dengan cara pandang DPR RI, maka ia berpotensi gagal. Atau, jika berpura-pura sejalan dengan sikap DPR, tapi di kemudian hari “balik badan” (tetap mempertahankan fungsi pengawasan dalam BI), maka hari-hari berikutnya sang Deputi Gubernur akan bermasalah dengan lembaga legislatif. Di sini, tim uji kepatutan pun dituntut kejeliannya untuk melihat gelagat yang responsif terhadap keinginan kuat Dewan untuk pemisahan fungsi pengawasan, atau hanya berstrategi.

Yang perlu kita catat, Deputi Gubernur BI yang baru – atas nama kepentingan bangsa dan negara – memang sudah saatnya harus bersikap tegas untuk “menghormati” arus kuat rakyat yang kini sedang diperjuangkan oleh teman-teman Komisi XI DPR RI. Namun, sikap tegas ini praktis berhadapan secara diametral dengan jajaran internal BI yang sejauh ini adalah sejumlah koleganya. Sangat bisa jadi, potret Deputi Gubernur yang responsif dan mau memutar haluan regulasinya akan dinilai “sok suci” dan sejumlah tudingan negatif lainnya. Inilah konsekunsi orang lurus. Dan kiranya, tim penguji kepatutan sudah seharusnya mencari kandidat Deputi Gubernur BI yang berani bersikap jelas dan tegas untuk misi keselamatan bangsa-negara.

Di sisi lain, ada tuntutan eksternal yang tak kalah seriusnya. Seperti kita ketahui bersama, beberapa pekan lalu tergulir gagasan untuk memberlakukan mata uang bersama ASEAN. Atas nama atau kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dari kawasan Asia Tenggara ini, maka gagasan itu sungguh ditunggu realisasinya. Konsekuensinya, Deputi Gubernur BI selaku Dewan Gubernur harus mempunyai wawasan yang mumpuni bagaimana ikut mengkonstruksi sistem moneter regional. Dan kemampuan ini pun perlu ditunjang dengan akseptabilitas dirinya di mata para Dewan gubernur bank sentral negara-negara ASEAN. Ini berarti, sang kandidat Deputi Gubernur BI saat ini juga haruslah punya kelebihan lobi dan seni meyakinkan orang lain. Kemampuan politiknya – pada akhirnya – diperlukan juga.

Semua persyaratan itu mutlak diperlukan guna menyongsong kehadiran Deputi Gubernur BI saat ini dan mendatang. Kualifikasi itu sangat mungkin terabaikan jika praktik gratifikasi bergentayangan dan – secara tersembunyi – direspons secara sempit oleh oknum tim penguji kepatutan. Jika hal ini terjadi, kiranya organ partai nasionalis apalagi religius haruslah bersikap tegas: sanksi politis, bahkan yuridis. Sikap ini diperlukan untuk menjaga kepentingan nasional. Semoga teman-teman tim penguji kepatutan tidak “loyo” menghadapi godaan fulus itu. Sikap ini harus menjadi komitmen bersama, apalagi Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menunjukkan tindakan nyata terhadap para pihak yang pernah terlibat dalam proses pemilihan Deputi Gubernur BI masa lalu. Apalah artinya travel checque, sementara berpotensi akan mempermalukan dirinya, keluarganya dan – yang lebih penting – akan mendestruksikan kinerja BI dan anak-banga dan negara. Inilah catatan hukum yang sungguh berharga untuk dihindari.

Jakarta, 6 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Kamis, 06 Mei 2010

Kasus Gayus Tolok Ukur Remunerasi

Jakarta - Anggota komisi XI DPR Achsanul Qosasi menilai kasus Gayus Tambunan dapat dijadikan tolok ukur untuk remunerasi di lingkungan Direktorat Pajak. Jika masih ada oknum-oknum lain seperti Gayus, remunerasi akan DPR usulkan dihentikan

"Jika masih banyak Gayus yang lain di sana, kita akan stop dulu remunerasi," papar Achsanul dalam dalam diskusi bertajuk "Remunerasi, Korupsi dan Mafia Pajak" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (3/4/2010). 

Oleh karena itu, menurut Achsanul, Komisi XI DPR akan memfokuskan kerja Panja Pajak ke pengusutan mafia pajak setelah sebelumnya fokus ke pengemplang pajak. Sebab remunerasi yang tujuannya adalah penghargaan terhadap departemen yang dinilai berhasil melakukan reformasi birokrasi tetap diawasi.

"Kementrian keuangan dipandang cukup berhasil kala itu, namun kemudian di dalam perjalanannya ada kasus Gayus," keluh Achsanul.

Namun Achsanul berharap kasus Gayus tidak serta merta dijadikan alasan penghentian renumerasi. Dia menegaskan sangat banyak aparat negara yang bekerja secara bersih. 

"Jangan digeneralisir. Kalau Gayus main sendiri ya jangan lantas gara-gara Gayus dihentikan," pungkas dia.
(van/lh) 

Rabu, 05 Mei 2010

Achsanul: Kandidat Ketum Demokrat Andalkan Restu Yudhoyono


JAKARTA, - Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI Achsanul Qosasi mengatakan tiga kandidat ketua umum Partai Demokrat seluruhnya mengandalkan restu dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Perkiraan saya Pak SBY tidak akan melakukan intervensi terlalu jauh terhadap seluruh atau salah satu kandidat agar demokrasi di internal partai berjalan baik," kata Achsanul Qosasi usai diskusi "Remunerasi, Korupsi, dan Mafia Pajak", di Jakarta, Sabtu.


Ketiga kandidat ketua umum Partai Demokrat adalah Andi Mallarangeng (Ketua DPP PD), Anas Urbaningrum (Ketua DPP PD), dan Marzuki Alie (mantan Sekjen DPP PD). Para kandidat tersebut, katanya, sama-sama memiliki keunggulan dan pengaruh tapi hingga saat ini belum bisa diprediksi mana yang lebih unggul. Dikatakannya, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mempersilakan para kandidat melakukan deklarasi atau sosialiasi usai pelaksanaan rapat koorinasi nasional (Rakornas) di Jakarta, pada 27-28 Maret lalu.

"Sampai saat ini ketiga kandidat masih melakukan kampanye dengan baik dan  belum ada yang melakukan kampanye negatif. Langkah yang dilakukan masih dalam taraf wajar," kata Achsanul. Jika di antara ketiga kandidat ada yang melakukan kampanye negatif atau cara-cara tidak sehat, katanya, tentu Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat akan turun tangan untuk mengatasinya.

Ketika ditanya soal kehadiran Edy Baskoro (purta Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono) pada deklarasi Andi Mallaraneng di Jakarta, Minggu (28/3) lalu, menurut Achsanul hal itu wajar saja. Dikatakannya, Edy Baskoro adalah pengurus Partai Demokrat sehingga memiliki hak pribadi untuk datang menentukan sikap politik pribadinya. Kalau kehadirannya pada deklarasi Andi Mallarangeng dinilai publik sebagai isarat dukungan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, katanya, silakan saja karena realitasnya Edy Baskoro adalah putra Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika ditanya soal tindakan sejumlah ketua DPD yang melarang pengurus DPC untuk datang pada pertemuan salah satu kandidat,  Achsanul mengatakan, sebaiknya tidak ada praktik seperti itu.  "Biarlah proses pergantian kepemimpinan di Partai Demokrat  berjalan alami," katanya. Ia meminta para ketua DPD dan DPC bisa datang pada seluruh pertemuan yang diselenggarakan kandidat untuk mengetahui visi, misi, dan programnya. Ia meminta tidak ada pengurus DPD yang melakukan praktik karantina terhadap pengurus DPC. Kalaupun hal itu dilakukan, katanya, paling tidak hanya sekitar tiga hari menjelang kongres.

"Kalau sekarang berikanlah kesempatan pada DPD dan DPC untuk memilih siapa kandidat yang dinilai paling kompeten untuk dipilih," kata Achsanul.

Selasa, 04 Mei 2010

Musibah Ekonomi yang Dipolitisir


KETIKA menjadi anggota Pansus Angket Bank Century (BO beberapa waktu lalu, Achsanul Qosasi diamanati oleh partainya- Partai Demokrat- untuk menjaga wibawa pemerintah, bahwa bailout terhadap BC tidak bermasalah dan tidak melanggar undang-undang Karena itu, sebagai kader partai, pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila (1985), dan Micro Credit Course, Micro Finance Programme, Cebu, Phi-lippina (2001) ini betul-betul mempersiapkan diri untuk memegang amanat itu.
Karena itu, diantara kader demokrat yang menjadi anggota Pansus Angket BC, dia benar-benar menguasai masalah. Tak segan, Achsanul, demikian ia biasa disapa, berdiri paling depan dalam beradu argumen dengan fraksi yang bersebrangan pendapat. Pria kelahiran Sumenep, Madura 10 Januari 1966 ini, memandang keputusan pemerintah memberikan dana talangan kepada BC adalah hal yang tak salah. Pria yang pernah berkarir selama 15 tahun di Perbankan ini mengungkapkan kasus BC adalah musibah ekonomi yang dibawa ke ranah politik.
"Saat dibawa ke ranah politik, dia menjadi bias. Banyak kepentingan yang bermain di sana. Terbukti, di ranah ekonomi, kasus BC mer-upakan keberhasilan pemerintah dalam menghadapi masa krisis 2008,jelas Putra KH Bahaudin Mudhary (alm), ahli Metafisika, dan seorang Ulama Besar Madura ini.
Kapabilitas suami dari Retno Suryandari ini semakin terlihat saat ditunjuk menjadi Tim Pengawas Rekomendasi DPR kasus BC. Ayah dari An-Nisa Zhafarina Qashry ini menjadi satu-satunya mantan anggota Pansus dari F-PD yang ditunjuk menjadi Tim yang bertugas mengawasi proses hukum kasus BC itu.
Pecinta film aksi dan humor ini juga dt-tunjuk partai berlaVnbang Mercy itu untuk mengawal program-program pemerintah dari sisi kebijakan anggaran, dan fiscal de-ngan menjadi Wakil Ketua Komisi Xl DPR. Saat pemerintah mengusulkan perubahan APBN 2010, Achsanul-lah penjaga gawang di DPR dalam mempertahankan asumsi-asumsi APBN yang dibuat pemerintah. Pengurus Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah ini melobi rekan-rekannya untuk melihat dengan realistis asumsi APBN itu, namun juga harus tetap optimis.
Dia mengatakan, Komisi Xl adalah komisi.yang sensitive dan rentan terjadi penyalahgunaan wewenang, terutama suap dan sogokan dari mitra kerjanya, karena bersentuhan langsung dengan program pemerintah; anggaran, dan bermitra dengan Menkeu, BI, Bappenas. Komisi Xl DPR, saat ini sedang membahas RUU )PSK dan RUU OJK. Pembuatan kedua RUU ini sangat penting agar kasus BC tidak lagi terulang. "Indonesia harus betul-betul punya UU pengawasan perbankan," jelas dia.
Apa yang diraih. Achsanul saat ini tak lepas dari filosofi hidup yang selalu dipegang teguh; bekerja tanpa pamrih, berbicara tanpa fitnah, dan rejeki di tangan Tuhan tanpa batas. Achsanul termasuk tipe orang yang tidak pernah menyerah, dan tidak bisa mengeluh.
Kehidupan, ujar dia, mepunyai dinamika tersendiri. Dinamika sudah ada yang mengatur, karena itu sepanjang apa yangdilakukan maksimal dan berpatokan pada manajemen waktu, apapun yang diimpikan akan menjadi kenyataan.
Melalui koperasi yang dibentuknya di pelosok daerah, Achsanul bermimpi bisa membantu banyak orang. Ia ingin orang desa bisa survive, dan tidak ada yang menganggur. "Saya memimpikan mendirikan koperasi di setiap kecamatan di seluruh Indonesia," harap dia.
Sumber : Bataviase

Senin, 03 Mei 2010

Outsourcing: Kendala Serius Pro-Job dan Pro Poor

Outsourcing:
Kendala Serius Pro-Job dan Pro Poor
Oleh Achsanul Qosasi

Haruslah kian terkurangi. Itulah komitmen Pemerintah dalam menghadapi angka pengangguran yang terus meledak dari tahun ke tahun. Komitmennya – secara teoritik – bisa diharapkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Sebuah komitmen yang kita kenal dengan kebijakan pro-job dan pro-poor. Namun, tekad itu harus berhadapan dengan kecenderungan yang terus menguat: outsourcing yang kini kian menjadi model dalam hubungan kerja. Yang menjadi persoalan, sistem outsourcing berdampak pada gelombang kekecewaan kaum pekerja yang terus meluas: terjadi tindakan demonstratif yang cenderung destruktif, termasuk yang belum lama ini terjadi di Batam. Haruskah terbiarkan gejolak kekecewaan itu?

Tentu tidak. Sebab, membiarkan gejolak itu sama artinya membiarkan potensi kerugian berbagai komponen. Bagi pekerja, gejolak yang ada seperti mogok massal apalagi sampai pada tahap perusakan sarana dan prasarana perusahaan memberikan jastifikasi bagi perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja, di samping potensi tuntutan secara hukum. Dan ini berarti ancaman yang akan menambah persoalan angka pengangguran sekaligus kemiskinan. Upaya mengurangi pengangguran yang kini sekitar 8% posisinya bisa naik lagi prosentasenya jika gejolak pekerja tidak teratasi. Sejalan dengan kemungkinan penambahan angka pengangguran itu, maka catatan angka kemiskinan yang kini dalam posisi 12,0% pun sangat mungkin bisa naik lagi. Itulah sebabnya, ada urgensi kuat bagaimana harus menyelesaikan akar persoalan yang terus mendorong pekerja bergejolak.

Seperti kita dengar bersama suara yang berkumandang luas, para pekerja menuntut penghapusan sistem outsourcing, sementara pihak prinsipal mempertahankannya. Perbedaan kedua cara pandang itu perlu dibangun titik temu. Untuk mencapai titik temu itu, maka kedua pihak perlu melihat dengan jernih tingkat kerugian masing-masing atas permberlakuan sistem outsourcing itu. Dari sisi prinsipal, yang perlu dilihat adalah komparasi tingkat risiko di antara mempertahankan sistem itu yang berkorelasi positif pada upaya menekan biaya rutin, tapi – di sisi lain – dibayang-bayangi tingkat kerugian akibat mogok masal, bahkan potensi perusakan sarana dan prasarana yang tentu menambah tingkat kerugiaan secara finansial. Secara komparatif, kiranya potensi kerugian mogok dengan segenap variannya relatif lebih besar dibanding konsekuensi pengeluaran rutin untuk pekerjanya.

Sementara itu, kalangan pekerja juga perlu melihat dengan jernih bahwa formasi (ketersediaan) lapangan kerja lebih terbatas dibanding tingkat permintaannya (pencari kerja). Ini berarti haruslah memunculkan kesadaran tersendiri bagaimana menumbuhkan toleransi atas kepentingan perusahaan. Yang menjadi persoalan, sampai sebatas mana tingkat toleransinya? Di sinilah negara (pemerintah) memang harus turun tangan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Pemerintah – melalui regulasi dan aksi (mengawasi dan menindak bagi yang melanggar) atau dengan perangkat UU – berkewajiban moral untuk berada di semua pihak dengan misi utama menciptakan situasi keharmonisan hubungan kerja dan saling memberikan manfaat. Di sisi lain, negara atau Pemerintah juga berkewajiban secara moral untuk menjaga stabilitas sosial-politik dan ekonomi (citra nasional yang kondusif dan atraktif untuk iklim investasi, di samping menjaga kepentingan pemasukan negara).

Stabilitas menjadi penting dan harus dijaga dalam rangka menjauhkan potensi yang mendestruksikan arti kemerdekaan yang harusnya dirasakan dan dinikmati oleh seluruh anak-bangsa. Sementara, citra kondusif dan atraktif juga penting sejalan dengan arus investasi berkorelasi positif bagi penyerapan angkatan kerja. Sementara kita tahu, tingkat kompetisi investasi di sekitar negeri kita cukup ketat. Dan kegiatan unit-unit ekonomi menjadi tonggak penting bagi penggalian pajak yang kini tetap menjadi sumber penting untuk kepentingan pembangunan. Atas dasar pepentingan strategis itu pula, negara tetap serius bagaimana menghadapi kepentingan yang berbeda, terutama pekerja versus prinsipal.

Ada sebuah konsep yang hingga kini jarang diterapkan kedua pihak (pekerja dan prinsipal): konsep cinta. Konsep ini berangkat dari sikap saling membutuhkan, saling menyayang dan saling memberikan yang terbaik. Jika konsep ini menjadi prinsip hubungan industrial, maka sebuah refleksi yang akan muncul adalah – dari sisi pekerja – akan memperlihatkan loyalitas terbaiknya: kerja penuh disiplin dan tak rela merugikan kepentingan prinsipal yang memang dicintainya. Dari konsep cinta itu pula, ia selaku pekerja akan selalu siap atau rela berkorban, meski menderita. Refleksi yang cukup mendasar adalah ia atau mereka tak akan banyak menuntut fasilitas atau lainnya yang membikin pihak yang dicintai justru kecewa.

Sementara itu, pihak prinsipal pun – sekali lagi karena mencintai para pekerjanya – tak akan rela membiarkan kegundahan orang-orang yang dicintainya. Ia akan terus memperhatikan apa yang diinginkan orang yang dicintainya. Bahkan, prinsipal – sekali lagi karena kuatnya rasa cinta – ia atau mereka rela berkorban.  Refleksinya, ia tak akan ragu untuk melepaskan sistem outsourcing yang sejauh ini dinilai sebagai penghambat ekspresi cintanya, meski penghapusan sistemnya menjadi bumerang (berbuntut pada penambahan pengeluaran biaya). Namun demikian, ada satu hal yang harus digaris-bawahi oleh prinsipal. Yaitu, ekspresi cinta perusahaan terhadap para pekerjanya akan mendorong pekerja jauh lebih disiplin dan penuh dedikasi. Implikasinya jelas: akan terjadi peningkatan produksi atau kualitas layanan yang lebih meningkat dan sejumlah peningkatan lainnya. Realitas ini sungguh bermakna positif-konstruktif bagi kinerja perusahaan. Maka, di depan mata, perkembangan dan atau pertumbuhan perusahaan sudah dapat dibaca secara dini. Inilah implikasi strategis dari sikap yang saling menghargai dan saling mencintai, meski dalam posisi masing-masing.

Jika konsep tersebut diterapkan, maka – secara teoritik – tak akan terjadi ledakan kekecewaan dalam sistem hubungan industrial yang jelas berpotensi merugikan kepentingan perusahaan, di samping pekerja itu sendiri, bahkan negara. Kini, bagaimana membangun kerangka konsep cinta agar menjadi filosofi yuridis dalam sistem ketenegakerjaan (menjadi ruh dalam UU tenaga kerja dan rugulasi bagi setiap perusahaan). Juga, menjadi landasan spirit kerja bagi siapapun yang tercatat sebagai pekerja.

Sikap saling menyayangi antar berbagai elemen (pekerja-perusahaan-pemerintah) akan menjadi kekuatan strategis dalam berbagai panorama. Kekuatan itu akan menampak pada agenda penyerapan angakatan kerja yang – insya Allah – akan lebih nyata, berpengaruh positif bagi program peningkatan kualitas kesejahteraan, kinerja ekonomi perusahaan juga berpotensi meningkat dan akhirnya negara yang juga ikut memetik dari buah manis itu.

Akhirnya, sistem outsourcing sebenarnya hanya masalah kecil jika paradigmanya berhasil direkonstruksi. Hindarilah cara pandang tentang pekerja hanyalah aset produksi dan dijadikan robot. Tapi, pandanglah sebagai umat manusia yang perlu sentuhan kemanusiaan. Sentuhannya menjadi penting karena manfaatnya akan berpulang bagi sang penyentuh. Kini, bagaimana negara (Pemerintah) ikut “membumikan” ruh cinta itu. Sebuah sikap bersama untuk kebersamaan di negeri ini.

Jakarta, 02 Mei 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Fraksi Demokrat