Senin, 10 Mei 2010

Menyongsong Deputi Gubernur BI


Menyongsong Deputi Gubernur BI
Oleh Achsanul Qosasi

Lobi kian gencar. Arahnya menggolkan kandidatnya: Halim Alamsyah (Direktur Direktorat Penelitian dan Pengawasan BI), Perry Warjiyo (Direktur Riset Kebijakan Moneter BI) dan Krisna Wijaya (Komisaris PT Bank Danamon, Tbk). Itulah yang dilakukan para “tim sukses” mereka dalam mendekati sejumlah anggota dan pimpinan Komisi XI DPR RI untuk menggapai posisi Gubernur Bank Indonesia (BI). Wajar. Tapi, yang perlu kita soroti tegas, akankah terjadi nuansa gratifikasi seperti yang pernah terjadi pada masa lalu?

Pertanyaan itu menjadi krusial untuk kita kritisi sejalan dengan gerakan gratifikasi (upaya mengkooptasi anggota dan pimpinan Komisi XI) sudah terlihat sinyal-sinyalnya. Di antara tim suksesnya tampak aktif menghubungi sejumlah anggota dan pimpinan Komisi XI DPR RI. Jika “diladeni”, sangat mungkin mempengaruhi proses fit and poper test (uji kepatutan). Bukan prosedurnya, tapi hasilnya yang tidak sesuai harapan ideal. Tim uji kepatutan – sekali lagi, jika sudah terkooptasi – sangat mungkin tidak atau segan menyampaikan sikap kritisnya. Sama artinya, proses uji kepatutan itu hanyalah formalitas. Implikasinya, mengabaikan kandidat Deputi Gubernur BI yang benar-benar dicari karena kapasitasnya yang mumpuni, dari sisi kualitas pengetahuan, teknis-operasional, bahkan – dan hal ini yang lebih penting – integritas dan dedikasinya untuk kepentingan naional.

Harus kita garis-bawahi, saat ini dan ke depan, BI diperhadapkan tantangan internal dan eksternal yang luar biasa pelik. Di lingkungan BI sendiri, ada problem serius bagaimana membangun sistem kerja agar dapat berjalan maksimal, efektif. Berkaca pada kasus Bank Century, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang indikasi ketidakdisiplinan (penyalahgunaan wewenang), sehingga tampak membiarkan data sebuah bank seperti Bank Century yang jelas-jelas “sakit”. Kebertahanan operasi Bank Century tidak akan pernah terjadi jika pejabat terkait fungsi pengawasan tidak terkecoh oleh gerakan kolusi yang terbangun dengan pihak pengelola dan pemilik Bank Century itu. Harus jujur kita catat, Pak Budiono yang tercatat bersih itu, saat menjabat Gubernur BI tampak “termainkan” oleh jajaran di bawahnya, sehingga data “busuk” Century tidak sampai ke tangan beliau. Akibat “main mata” yang terjadi, BI benar-benar terkena badai. Pemerintah pun menjadi tertuding. Sungguh tidak sehat dan memprihatinkan.

Menggaris-bawahi kasus Bank Century itu, kini ada kebutuhan mendesak bahwa kandidat Deputi Gubernur BI sebagai komponen dari Dewan Bank Sentral – secara konsepsional dan operasional – harus mampu memimpin bidangnya dan diterima di lingkungan internalnya. Akseptabilitas ini akan menumbuhkan kewibawaan tersendiri, sehingga jajarannya bukan hanya loyal dan disiplin dalam bekerja, tapi juga tidak berani “neko-neko” (bersekongkol) dengan pihak manapun. Untuk mencapai situasi kerja seperti ini, maka ada sebuah kebutuhan urgen dalam pemilihan Deputi Gubernur BI saat itu. Yaitu, ia haruslah seorang figur pemimpin. Masalah kepemimpinan di tengah BI saat ini sungguh diperlukan. Ia bukan hanya mumpuni pengetahuan teknis operasional dunia perbankan dan sistem moneter, tapi ia juga disegani seluruh komponen institusinya.

Kepemimpinannya yang efektif akan memudahkan Deputi Gubernur menginstuksikan apapun yang dikehendaki sepanjang terkait dengan urusan tugas. Dan yang lebih krusial adalah instruksi khususnya terkait pembenahan moralitas atau kedisiplinan kerja. Perlu kita catat, aspek ini kini menjadi garda bagaimana mengkonstruksi BI yang lebih nasionalis: mengedepankan kepentingan bangsa-negara daripada pemenuhan kepentingan sempit dirinya. Inilah urgensi reformasi birokrasi di tengah BI. Harus kita catat, tidak mudah untuk membenahi aspek moralitas itu. Sementara kita tahu, masalah kolusi tidak kecil nilai kompensasinya, sehingga terus menggoda, padahal tingkat gaji tidak kecil: berkisar antara Rp100 – 120 juta/bulan, belum fasilitas lainnya cukup fantastik.

Deputi Gubernur BI mendatang juga harus berhadapan dengan arus kuat internal BI. Seperti kita ketahui, saat ini sedang digodok lembaga pengawasan yang idealnya terpisah dari institusi BI. Salah satu fungsinya – yakni pengawasan – dipisahkan. Dan BI dirancang untuk lebih konsentrasi pada upaya membangun stabilitas moneter. Urusan teknis pengawasan perbankan tidak lagi dalam otoritasnya, tapi diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus kita catat, proposal ini cenderung ditampik oleh orang-orang BI dan hal ini sudah terlihat dalam fit and proper test pada 5 Mei kemarin. Tentu ada alasan krusial. Tapi, jika kita analisis secara spesifik, kita bisa menangkap nuansa rasa takut kehilangan “kue besar” yang bersifat kolutif atau konsesional lainnya sebagai implikasi peranannya menjalankan fungsi pengawasan, terutama kepada industri perbankan.

Kondisi itu menggambarkan adanya situasi internal BI yang sesungguhnya resisten terhadap proposal pemisahan fungsi pengawasan itu. Lalu, bagaimana Deputi Gubernur BI yang baru bersama deputi-deputi lainnya mampu menghadapi arus kuat yang cenderung mempertahankan fungsi pengawasan? Sementara itu, tim fit and proper test DPR lebih menghendaki pemisahan itu. Jika sang kandidat tidak sejalan dengan cara pandang DPR RI, maka ia berpotensi gagal. Atau, jika berpura-pura sejalan dengan sikap DPR, tapi di kemudian hari “balik badan” (tetap mempertahankan fungsi pengawasan dalam BI), maka hari-hari berikutnya sang Deputi Gubernur akan bermasalah dengan lembaga legislatif. Di sini, tim uji kepatutan pun dituntut kejeliannya untuk melihat gelagat yang responsif terhadap keinginan kuat Dewan untuk pemisahan fungsi pengawasan, atau hanya berstrategi.

Yang perlu kita catat, Deputi Gubernur BI yang baru – atas nama kepentingan bangsa dan negara – memang sudah saatnya harus bersikap tegas untuk “menghormati” arus kuat rakyat yang kini sedang diperjuangkan oleh teman-teman Komisi XI DPR RI. Namun, sikap tegas ini praktis berhadapan secara diametral dengan jajaran internal BI yang sejauh ini adalah sejumlah koleganya. Sangat bisa jadi, potret Deputi Gubernur yang responsif dan mau memutar haluan regulasinya akan dinilai “sok suci” dan sejumlah tudingan negatif lainnya. Inilah konsekunsi orang lurus. Dan kiranya, tim penguji kepatutan sudah seharusnya mencari kandidat Deputi Gubernur BI yang berani bersikap jelas dan tegas untuk misi keselamatan bangsa-negara.

Di sisi lain, ada tuntutan eksternal yang tak kalah seriusnya. Seperti kita ketahui bersama, beberapa pekan lalu tergulir gagasan untuk memberlakukan mata uang bersama ASEAN. Atas nama atau kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dari kawasan Asia Tenggara ini, maka gagasan itu sungguh ditunggu realisasinya. Konsekuensinya, Deputi Gubernur BI selaku Dewan Gubernur harus mempunyai wawasan yang mumpuni bagaimana ikut mengkonstruksi sistem moneter regional. Dan kemampuan ini pun perlu ditunjang dengan akseptabilitas dirinya di mata para Dewan gubernur bank sentral negara-negara ASEAN. Ini berarti, sang kandidat Deputi Gubernur BI saat ini juga haruslah punya kelebihan lobi dan seni meyakinkan orang lain. Kemampuan politiknya – pada akhirnya – diperlukan juga.

Semua persyaratan itu mutlak diperlukan guna menyongsong kehadiran Deputi Gubernur BI saat ini dan mendatang. Kualifikasi itu sangat mungkin terabaikan jika praktik gratifikasi bergentayangan dan – secara tersembunyi – direspons secara sempit oleh oknum tim penguji kepatutan. Jika hal ini terjadi, kiranya organ partai nasionalis apalagi religius haruslah bersikap tegas: sanksi politis, bahkan yuridis. Sikap ini diperlukan untuk menjaga kepentingan nasional. Semoga teman-teman tim penguji kepatutan tidak “loyo” menghadapi godaan fulus itu. Sikap ini harus menjadi komitmen bersama, apalagi Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menunjukkan tindakan nyata terhadap para pihak yang pernah terlibat dalam proses pemilihan Deputi Gubernur BI masa lalu. Apalah artinya travel checque, sementara berpotensi akan mempermalukan dirinya, keluarganya dan – yang lebih penting – akan mendestruksikan kinerja BI dan anak-banga dan negara. Inilah catatan hukum yang sungguh berharga untuk dihindari.

Jakarta, 6 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar