Senin, 03 Mei 2010

Outsourcing: Kendala Serius Pro-Job dan Pro Poor

Outsourcing:
Kendala Serius Pro-Job dan Pro Poor
Oleh Achsanul Qosasi

Haruslah kian terkurangi. Itulah komitmen Pemerintah dalam menghadapi angka pengangguran yang terus meledak dari tahun ke tahun. Komitmennya – secara teoritik – bisa diharapkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Sebuah komitmen yang kita kenal dengan kebijakan pro-job dan pro-poor. Namun, tekad itu harus berhadapan dengan kecenderungan yang terus menguat: outsourcing yang kini kian menjadi model dalam hubungan kerja. Yang menjadi persoalan, sistem outsourcing berdampak pada gelombang kekecewaan kaum pekerja yang terus meluas: terjadi tindakan demonstratif yang cenderung destruktif, termasuk yang belum lama ini terjadi di Batam. Haruskah terbiarkan gejolak kekecewaan itu?

Tentu tidak. Sebab, membiarkan gejolak itu sama artinya membiarkan potensi kerugian berbagai komponen. Bagi pekerja, gejolak yang ada seperti mogok massal apalagi sampai pada tahap perusakan sarana dan prasarana perusahaan memberikan jastifikasi bagi perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja, di samping potensi tuntutan secara hukum. Dan ini berarti ancaman yang akan menambah persoalan angka pengangguran sekaligus kemiskinan. Upaya mengurangi pengangguran yang kini sekitar 8% posisinya bisa naik lagi prosentasenya jika gejolak pekerja tidak teratasi. Sejalan dengan kemungkinan penambahan angka pengangguran itu, maka catatan angka kemiskinan yang kini dalam posisi 12,0% pun sangat mungkin bisa naik lagi. Itulah sebabnya, ada urgensi kuat bagaimana harus menyelesaikan akar persoalan yang terus mendorong pekerja bergejolak.

Seperti kita dengar bersama suara yang berkumandang luas, para pekerja menuntut penghapusan sistem outsourcing, sementara pihak prinsipal mempertahankannya. Perbedaan kedua cara pandang itu perlu dibangun titik temu. Untuk mencapai titik temu itu, maka kedua pihak perlu melihat dengan jernih tingkat kerugian masing-masing atas permberlakuan sistem outsourcing itu. Dari sisi prinsipal, yang perlu dilihat adalah komparasi tingkat risiko di antara mempertahankan sistem itu yang berkorelasi positif pada upaya menekan biaya rutin, tapi – di sisi lain – dibayang-bayangi tingkat kerugian akibat mogok masal, bahkan potensi perusakan sarana dan prasarana yang tentu menambah tingkat kerugiaan secara finansial. Secara komparatif, kiranya potensi kerugian mogok dengan segenap variannya relatif lebih besar dibanding konsekuensi pengeluaran rutin untuk pekerjanya.

Sementara itu, kalangan pekerja juga perlu melihat dengan jernih bahwa formasi (ketersediaan) lapangan kerja lebih terbatas dibanding tingkat permintaannya (pencari kerja). Ini berarti haruslah memunculkan kesadaran tersendiri bagaimana menumbuhkan toleransi atas kepentingan perusahaan. Yang menjadi persoalan, sampai sebatas mana tingkat toleransinya? Di sinilah negara (pemerintah) memang harus turun tangan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Pemerintah – melalui regulasi dan aksi (mengawasi dan menindak bagi yang melanggar) atau dengan perangkat UU – berkewajiban moral untuk berada di semua pihak dengan misi utama menciptakan situasi keharmonisan hubungan kerja dan saling memberikan manfaat. Di sisi lain, negara atau Pemerintah juga berkewajiban secara moral untuk menjaga stabilitas sosial-politik dan ekonomi (citra nasional yang kondusif dan atraktif untuk iklim investasi, di samping menjaga kepentingan pemasukan negara).

Stabilitas menjadi penting dan harus dijaga dalam rangka menjauhkan potensi yang mendestruksikan arti kemerdekaan yang harusnya dirasakan dan dinikmati oleh seluruh anak-bangsa. Sementara, citra kondusif dan atraktif juga penting sejalan dengan arus investasi berkorelasi positif bagi penyerapan angkatan kerja. Sementara kita tahu, tingkat kompetisi investasi di sekitar negeri kita cukup ketat. Dan kegiatan unit-unit ekonomi menjadi tonggak penting bagi penggalian pajak yang kini tetap menjadi sumber penting untuk kepentingan pembangunan. Atas dasar pepentingan strategis itu pula, negara tetap serius bagaimana menghadapi kepentingan yang berbeda, terutama pekerja versus prinsipal.

Ada sebuah konsep yang hingga kini jarang diterapkan kedua pihak (pekerja dan prinsipal): konsep cinta. Konsep ini berangkat dari sikap saling membutuhkan, saling menyayang dan saling memberikan yang terbaik. Jika konsep ini menjadi prinsip hubungan industrial, maka sebuah refleksi yang akan muncul adalah – dari sisi pekerja – akan memperlihatkan loyalitas terbaiknya: kerja penuh disiplin dan tak rela merugikan kepentingan prinsipal yang memang dicintainya. Dari konsep cinta itu pula, ia selaku pekerja akan selalu siap atau rela berkorban, meski menderita. Refleksi yang cukup mendasar adalah ia atau mereka tak akan banyak menuntut fasilitas atau lainnya yang membikin pihak yang dicintai justru kecewa.

Sementara itu, pihak prinsipal pun – sekali lagi karena mencintai para pekerjanya – tak akan rela membiarkan kegundahan orang-orang yang dicintainya. Ia akan terus memperhatikan apa yang diinginkan orang yang dicintainya. Bahkan, prinsipal – sekali lagi karena kuatnya rasa cinta – ia atau mereka rela berkorban.  Refleksinya, ia tak akan ragu untuk melepaskan sistem outsourcing yang sejauh ini dinilai sebagai penghambat ekspresi cintanya, meski penghapusan sistemnya menjadi bumerang (berbuntut pada penambahan pengeluaran biaya). Namun demikian, ada satu hal yang harus digaris-bawahi oleh prinsipal. Yaitu, ekspresi cinta perusahaan terhadap para pekerjanya akan mendorong pekerja jauh lebih disiplin dan penuh dedikasi. Implikasinya jelas: akan terjadi peningkatan produksi atau kualitas layanan yang lebih meningkat dan sejumlah peningkatan lainnya. Realitas ini sungguh bermakna positif-konstruktif bagi kinerja perusahaan. Maka, di depan mata, perkembangan dan atau pertumbuhan perusahaan sudah dapat dibaca secara dini. Inilah implikasi strategis dari sikap yang saling menghargai dan saling mencintai, meski dalam posisi masing-masing.

Jika konsep tersebut diterapkan, maka – secara teoritik – tak akan terjadi ledakan kekecewaan dalam sistem hubungan industrial yang jelas berpotensi merugikan kepentingan perusahaan, di samping pekerja itu sendiri, bahkan negara. Kini, bagaimana membangun kerangka konsep cinta agar menjadi filosofi yuridis dalam sistem ketenegakerjaan (menjadi ruh dalam UU tenaga kerja dan rugulasi bagi setiap perusahaan). Juga, menjadi landasan spirit kerja bagi siapapun yang tercatat sebagai pekerja.

Sikap saling menyayangi antar berbagai elemen (pekerja-perusahaan-pemerintah) akan menjadi kekuatan strategis dalam berbagai panorama. Kekuatan itu akan menampak pada agenda penyerapan angakatan kerja yang – insya Allah – akan lebih nyata, berpengaruh positif bagi program peningkatan kualitas kesejahteraan, kinerja ekonomi perusahaan juga berpotensi meningkat dan akhirnya negara yang juga ikut memetik dari buah manis itu.

Akhirnya, sistem outsourcing sebenarnya hanya masalah kecil jika paradigmanya berhasil direkonstruksi. Hindarilah cara pandang tentang pekerja hanyalah aset produksi dan dijadikan robot. Tapi, pandanglah sebagai umat manusia yang perlu sentuhan kemanusiaan. Sentuhannya menjadi penting karena manfaatnya akan berpulang bagi sang penyentuh. Kini, bagaimana negara (Pemerintah) ikut “membumikan” ruh cinta itu. Sebuah sikap bersama untuk kebersamaan di negeri ini.

Jakarta, 02 Mei 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Fraksi Demokrat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar