Kamis, 29 April 2010

Achsanul Qosasi, Panja Pajak Belum Kerja, Kenapa Perlu Bentuk Pansus

           DPR tak mau ketinggalan dalam mengungkap mafia pajak. Lewat Panitia Kerja (Panja) Pajak, DPR mencoba menguak penyimpangan yang terjadi dalam pengumpulan pundi-pundi keuangan negara ini. Panja akan fokus pada dua hal. Pertama, praktik mafia pajak yang diduga dilakukan Gayus Tambunan Cs. Kedua, proses penyelesaian sengketa pajak di pengadilan pajak. Hari ini, Panja akan memanggil Dirjen Pajak M. Tjiptardjo untuk dimintai ke terangan. 

           Panja Pajak dibentuk sebelum kasus Gayus mencuat. Panja ini gabungan Komisi III dan Komisi XI. Komisi III membidangi masalah hukum. Sementara, Komisi XI membidangi keuangan. Beberapa anggota Dewan ingin DPR membentuk panitia khusus (Pansus) untuk membongkar mafia pajak. Alasan mereka, masalah ini perlu mendapat perhatian serius sehingga harus ditangani oleh sebuah pansus. Pansus memiliki kewenangan yang lebih besar dari panja. 

           Tapi, Komisi XI keberatan dibentuk Pansus Mafia Pajak. Mengapa? Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi. 

Kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan Cs telah menyita perhatian publik seperti kasus Bank Century. Beberapa anggota Dewan mengusulkan agar dibentuk pansus. Kenapa Komisi XI menolak? 
Kami bukan tidak setuju terhadap dibentuknya Pansus kasus pajak ini. Panja Pajak sudah ada. Panja ini gabungan Komisi III dan Komisi XI. Panja saja belum bekerja, kenapa perlu dibentuk pansus? Bukankah lebih baik Panja diberi kesempatan untuk bekerja. Kalau dalam proses penyelidikan yang kami lakukan ternyata mengharuskan membentuk pansus, kami akan membentuk nya. Karena belum ada tuntutan untuk membentuk pansus, maka sebaik­nya serahkan saja dulu kepada panja. 

Panja Pajak akan memanggil Dirjen Pajak. Apa yang menjadi fokus pemanggilan itu? 

Salah satu tujuan pemanggilan Dirjen Pajak ke DPR adalah untuk mengklarifikasi masalah yang sedang terjadi. Pertama kali, kami akan fokus pada masalah Gayus Tambunan yang disebut-sebut sebagai markus pajak. Fokus yang kedua adalah masalah sengketa yang terjadi pada pengadilan pajak. 

Bukankah pengadilan pajak di luar Ditjen Pajak? 

Meskipun pengadilan pajak di luar Ditjen Pajak, namun kami ingin menanyakan seberapa besar kasus sengketa pajak dan kasus permohonan wajib pajak yang diterima dan yang ditolak. Kalau diterima apa alasannya, kalau ditolak apa alasannya. Karena yang kami dengar, ketika Kantor Pelayanan Pajak mengeluarkan SKP (Surat Keterangan Pajak), hal yang sering terjadi, wajib pajak akan keberatan terhadap SKP tersebut. Biasanya Ditjen Pajak akan menolak keberatan wajib pajak. Akhirnya SKP ini dibawa ke pengadilan pajak untuk disi dang kan. Dan ketika sudah ma suk pa da pengadilan pajak inilah, orang seperti Gayus ini akan berperan untuk memainkan ka sus. Kami ingin mencari in formasi yang sebenarnya terjadi di pengadilan pajak. Hal ini menjadi penting, bagai mana Dirjen Pajak mengetahui ka s us sengketa pajak yang diba wa ke pengadilan pajak, kemu dian pemerintah kalah. Muncul tanda tanya besar mengapa pe me r intah selalu kalah. 

Gayus Tambunan sudah di pecat. Beberapa anggota komplotannya dinonaktifkan dan diperiksa. Apakah DPR puas dengan langkah ini? 

Respons Dirjen Pajak terhadap kasus Gayus sudah cukup bagus. Gayus dipecat dan beberapa atasannya dinonaktifkan. Tapi, menurut saya, permasalahannya bukan itu. Yang harus dilakukan oleh Dirjen Pajak adalah bagai mana mengefektifkan penga wasan terhadap pegawai pajak agar tidak muncul Gayus-Gayus baru di kemudian hari. Termasuk juga masalah pengadilan pajak yang selama ini tertutup oleh publik. Kami berharap semua orang dapat mengakses sengketa yang terjadi di pengadilan pajak. Kalau sudah masuk ranah sengketa, publik berhak mengetahuinya, tidak perlu ditutup-tutupi. 

Ada desakan agar Dirjen Pajak dinonaktifkan agar mempermudah pemeriksaan. Anda setuju? 

Saya tidak setuju kalau Dirjen Pajak mundur atau dinonaktifkan dari jabatannya. Dia harus bisa menelusuri dan mencari tahu sampai sejauh mana penyimpang an yang dilakukan anak buahnya. Tapi kalau Dirjen Pajak dipecat, saya rasa bukan jalan keluar. Mengingat hasil kerja Dirjen Pajak bisa dikatakan cukup baik. Misalnya, dalam sisi kuantitas, Dirjen Pajak berhasil mencapai target penerimaan pajak. Tapi dari segi kualitatif, dia bisa dikatakan gagal. Misalnya, dia gagal melakukan pengawasan sehingga bisa ada seperti Gayus. 

Berarti Dirjen Pajak harus turut bertanggung jawab karena gagal melakukan pengawasan? 

Masalah sanksi itu bukan wewenang kami, biarkan Men keu yang memberikan. Kami hanya ingin menekan agar Dirjen Pajak melakukan reformasi menyeluruh di instansinya. Kalau perlu, Dirjen Pajak mempersilakan BPK untuk mengaudit anak buahnya. 

Jadi DPR akan mempersilakan BPK mengaudit pegawai pajak? Padahal, selama ini BPK dilarang mengaudit instansi itu? 


Mungkin saja itu akan kami sam paikan kepada Dirjen Pajak nanti. Saya pribadi pun juga setuju kalau harta kekayaan pegawai pajak diaudit. Masalahnya, proses audit itu butuh waktu lama. Kalau mau dilakukan, sebaiknya tidak saat ini. Tetapi setelah kasus ini ter­ungkap. Audit dilakukan oleh BPK secara tertutup saja. 

Apakah Komisi XI akan mengevaluasi program renumerasi kepada pegawai Kementerian Keuangan yang dianggap gagal oleh sejumlah pihak? 

Renumerisasi diberikan kepada institusi yang berhasil melakukan reformasi birokrasi. Menkeu sudah berhasil melakukan reformasi birokrasi, meskipun di Ditjen Pajak masih ditemukan orang-orang seperti Gayus. Bila dalam pemeriksaan DPR nanti ternyata banyak sekali “Gayus-Gayus” di lingkungan Ditjen Pajak, maka kami tahan dulu pemberian renumerisasi. Tapi kalau tak banyak penyimpangan, renumerisasi bisa tetap dijalankan. Jangan sampai ulah satu orang seperti Gayus akan mengorbankan pegawai pajak lainnya yang telah bekerja secara profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar