Mata Uang Bersama ASEAN?
Oleh Achsanul Qosasi
Sebenarnya, tidaklah terlalu mengejutkan. Itulah gagasan “penggunaan mata uang bersama ASEAN” sebagai alat transaksi antar masyarakat Asia Tenggara. Gagasan yang disampaikan Bank Sentral Vietnam jelang pertemuan puncak KTT ASEAN ke-16 di Kota Nha Thang itu sesungguhnya pernah disampaikan – setidaknya disinggung – pada beberapa KTT ASEAN sebelumnya. Dan KTT ASEAN pada 8 - 9 April lalu di Vietnam pun disampaikan lagi. Adakah urgensi kuat di balik upaya menggulirkan gagasan itu?
Memang relatif urgensi pemberlakuan mata uang bersama ASEAN itu. Namun, karakter globalisme yang cepat mempengaruhi kondisi regional bahkan sampai ke tingkat masing-masing negara membuat siapapun selaku pemimpin harus bersikap kritis bagaimana mencari kerangka solusi konstruktif atas dinamika ekonomi yang terjadi di lingkungan internasional itu. Seperti kita ketahui bersama, pada 2008 lalu terjadi krisis ekonomi global. Diawali krisis keuangan Amerika, kemudian meluas ke sejumlah negara Eropa dan negara-negara berkembang, semuanya menerjang posisi ekonomi banyak negara, meski dengan kualitas dampak berbeda-beda. Dan, alhamdulilah, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang terhindar dari krisis keuangan global itu, meski tetap, antisipasinya menyerempet persoalan tersendiri. Tapi, inilah tingkat risiko dalam menghadapi situasi ekonomi sulit yang kadang sangat dilematis. Berangkat dari karakter ekonomi global yang sangat rentan terseret krisis itu, maka gagasan penguatan ekonomi regional menjadi sangat strategis dan urgen. Misinya jelas: menghindari potensi keterulangan krisis ekonomi global yang dampaknya meluas, sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk membangun masyarakat ASEAN yang jauh lebih sejahtera dan merata, tidak njomplang.
Berlebihankah gagasan rekonstruktif itu? Tidak. Gagasan itu cukup historikal. Jika kita tengok gerakan ekonomi masyarakat Uni Eropa, mereka – sejak tahun 1952 – sudah terpanggil bagaimana mendayagunakan ekonomi berbasis regional. Sangat boleh jadi, gagasan ekonomi regional ini merupakan reaksi dari lahirnya North Amarican Free Trade Area (NAFTA), sebuah gerakan ekonomi proteksionistik ala Amerika, Kanada dan Meksiko. Ketiga negara berbasis regional Amerika belahan utara ini berhasil membukukan kue ekonomi sangat spektakuler, meski cukup memukul kepentingan eksportir dari Eropa dan lainnya dari Asia. Tapi, kekecewaan itu membangkitkan kesadaran untuk mendayagunakan potensi ekonomi regionalnya. Pasar Tunggal Eropa adalah jawaban nyata yang ternyata cukup fantastik hasilnya. Berdasarkan laporan Bank Dunia mutakhir, kini 10 negara yang tingkat GDP perkapitanya terbesar di dunia, semuanya dari Eropa. Yaitu, Luxemburg, Norwegia, Swiss, Irlandia, Denmark, Islandia, Belanda, Swedia, Finlandia dan Austria. Dan reputasi kinerja ekonominya berkorelasi positif pada tingkat perkembangan ekonomi masyarakat dan atau bangsanya.
Berkaca dari kekuatan nyata ekonomi Uni Eropa, kiranya tidaklah berlebihan jika ASEAN kini berusaha mengadopsinya. Tentu derngan landasan sejumlah tingkat keunggulan obyektif potensi ekonomi regionalnya. Seperti kita ketahui, sumber daya alam ASEAN – katakanlah dari komoditas pertanian dan atau perkebunan – relatif menguasai pasar dunia. Sebagai gambaran, komoditas crude palm oil (CPO) dari Indonesia dan Malaysia tertinggi volume produksinya. Kedua negara ini peyumpang ekpor CPO dunia sampai sekitar 80%, meski dominasi pasarnya tidak mampu menjadikan dirinya sebagai prici maker (penentu harga). Di sisi lain, karet Indonesia dan Thailand termasuk eksportir utama dunia. Lada asal Indonesia, Malaysia dan Vietnam juga merupakan unggulan dunia. Demikian juga untuk hasil hutan seperti kayu lapis, log, rotan, tak bisa disangsikan lagi. Potensi sumberdaya ini akan menaimabh nilai dan kualitasnya jika diaitkan dengan sumber daya alam lainnya (mineral dan lain-lain), plus sumberdaya manusia. Harus kita catat, jumlah penduduk ASEAN merupakan magnet pasar yang luar biasa. Dengan mencermati pertumbuhan ekonomi sejumlah negara ASEAN, realitas potensi ini menjadi daya dorong untuk agresivitas ekpostir untuk berlaga di pasar ASEAN, di samping gerakan investasi.
Secara simplistis kita dapat mencatat, potensi ekonomi berbasis regional Asia Tenggara sungguh prospektif. Karenanya, sungguh prospektif pula jika muncul pemikiran untuk membangun pasar bersama ASEAN. Pemikiran ini akan menjadi riil jika dibarengi dengan gagasan pemberlakuan mata uang bersama ASEAN. Inilah alat transaksi krusial, sebagaimana Euro dapat memainkan peran maksimal di tegah Uni Eropa yang segera mengangkat perekonomian negara-negara Eropa itu.
Kini, bagaimana membangun visi-misi bersama untuk membumikan mata uang ASEAN? Tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berkaca pada Euro, realisasi penyatuan mata uang Uni Eropa perlu waktu sekitar 50 tahun (awal muncul gagasan pada 1952, baru terealisasi 1 Januari 2002). Maka, mata uang ASEAN pun sangatlah mungkin mirip, meski tidak sama persis. Beberapa hal mendasar yang mengemuka adalah bagaimana masing-masing negara ASEAN menyamakan tingkat nilai tukar mata uang agar dirasakan “adil” ketika dikonversi ke mata uang ASEAN itu. Sangatlah mungkin, Singapura, Brunei Darussalam yang mengunakan dolar akan merasa lebih unggul dan bahkan rugi jika nilai mata uangnya lebih rendah ketika “membaur” ke mata uang ASEAN. Malaysia ataupun lainnya yang memang lebih tinggi nilai tukarnya pun akan merasakan hal sama. Posisi psikologis ini juga terlihat pada Inggris, yang hinggi kini masih terlalu percaya dengan poundsterlingnya, sehingga belum rela melepaskan diri lalu masuk total ke sistem mata uang Euro. Kiranya, apa yang diperlihatkan Inggris juga akan terlihat pada proses penyatuan mata uang ASEAN.
Di sisi lain, juga akan terbentur psikologi para pengambil kebijakan masing-masing negara ASEAN dalam kerangka membangun konstruksi sistem moneter yang adaptif untuk semua negara ASEAN. Penyamaan visi bahkan implementasi (misi) merupakan pertarungan tersendiri. Namun, perbedaan yang muncul akan mengerucut pada manfaat besar kebersamaan mata uang regional, di samping makna konstruktif dari bahaya leten krisis ekonomi global yang terus menguntit, meski dimainkan oleh beberapa gelintir fund manager. Itulah dua hal penting yang berpotensi akan membangun kesadaran baru para perancang mata uang bersama ASEAN.
Tantangan lain yang tak kalah krusialnya adalah kekuatan hegemoni dolar. Hal ini
perlu kita soroti sejalan dengan gagasan pemberlakuan mata uang bersama itu – secara diametal – pasti akan berhadapan dengan kekuatan dolar. Harus kita catat, pemberlakuan mata uang bersama ASEAN itu – secara teoritik – akan mengurangi kebutuhan bahkan ketergantungannya terhadap dolar. Masyarakat bisnis bahkan negara/pemerintah – setelah mata uang ASEAN berlaku – membutuhkan mata uang dolar hanya karena ikatan transaksional dengan sejumlah negara importir atau donor yang menggunakan dolar. Hal ini menunjukkan adanya prediksi kontraksi permintaan obyektif terhadap dolar, secara perlahan atau signifikan, tergantung komitmen kuatnya.
Bagi “produsen” dolar, kontraksi penggunaan dolar merupakan ancaman serius, apalagi jika dikaitkan politik negara produsen dolar. Tapi, para produsen pun tak bisa bersikap egoistik melihat kecenderungan global penggunaan mata uang yang berbasis regional seperti Euro atau Dinar. Kehadiran kedua mata uang nondolar – jika dicermati secara bijak – sejatinya merupakan faktor penting untuk membangun perimbangan sistem keuangan (alat transaksi) global. Sejauh ini, tiadanya mata uang pengimbang menjadikan para fund manager sering berulah, yang dampaknya negatifnya mengglobal. Di sinilah, kehadiran mata uang ASEAN bisa menjadi penambah kekuatan perimbangan atas mata-mata uang regional yang ada (Euro dan Dinar). Kiranya, yang harus ditangkap substansinya bukanlah posisinya sebagai pesaing, tapi justru sebagai stabilisator sistem keuangan dunia. Konteksnya harmonisasi, bukanlah membangun kepanikan yang berbuntut kericuhan, kehancuran sosial-ekonomi anak-bangsa, di samping para pelaku ekonomi dan negara atau pemerintah juga menjadi sasaran tembak.
Kini, gagasan mata uang bersama ASEAN sudah terhembus, termasuk pada KTT ASEAN yang baru lalu (8 – 9 April) di Nha Thang - Vietnam. Karenanya, hal krusial yang harus dibangun adalah bagaimana mewujudkannya. Dan kiranya, para pemimpin ASEAN saat ini harus mampu meletakkan fondasi untuk agenda besar pemberlakuan mata uang ASEAN itu. Fondasinya harus mengikat meski pemimpin atau kepala pemerintahan negara-negara ASEAN berganti tokoh. Mungkinkah, gagasan yang terkesan fatamorganik ini termujud? Jawabannya, mengapa tidak. Setidaknya, itulah yang dapat kita petik dari perjalanan mata uang Euro.
Jakarta, 18 April 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar