Trias Politica dan Sistem Pengawasan Keuangan
Oleh Achsanul Qosasi
Amanat konstitusi. Itulah mendirikan lembaga pengawasan keuangan independen seperti yang tertuang dalam Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terbentuk paling lambat pada 31 Desember 2010. Sebuah amanat yang intinya memisahkan fungsi pengawasan sistem keuangan dari bank sentral (BI), tak ubahnya “tias politica” dalam kontek sistem politik. Yang perlu kita teropong, sampai sajuh mana makna konstruktif dari amanat konstitusi itu bagi upaya membangun sistem pengawasan keuangan nasional?
Jika kita buka kembali landasan historisnya, keinginan atau rencana memisahkan sistem pengawasan dari apa yang selama ini menjadi tugas dan fungsi BI tak jauh dari sejumlah krisis yang menghinggapi. Kasus kebobolan ke Bank Century (BC) – sulit disangkal – merupakan implikasi dari lemahnya sistem pengawasan BI yang tidak tanggap atas muslihat managemen BC. Manipulasi yang dilakukannya tidak langsung diketahui dan hal ini berimplikasi pada meningkatnya kerugian negara. Inilah konsekuensi sistem pengawasan jasa keuangan yang masih menyatu pada lembaga bank sentral, yang berfungsi juga sebagai regulator dan stabilisator. Penyatuan tiga fungsi sekaligus – tak bisa dipungkiri – cukup berat bebannya, apalagi dengan kondisi perekonomian global yang sering bergejolak dan tak terduga-duga sebelumnya. Karena itu, menjadi proporsional amanat konstitusi itu yang siap menanggalkan salah satu fungsinya (pengawasan).
Kita perlu menggaris-bawahi, kiranya terlalu latah (reaktif) jika keinginan atau rencana mendirikan lembaga independen (OJK) karena faktor bailout ke BC itu. Ketika terjadi guncangan moneter Asia pada 1997-1998, Pemerintah mengambil langkah penguatan sistem pengawasan bank dan meningkatkan berbagai regulasi. Dan pemikiran tentang menghadirkan OJK sudah muncul. Inilah produk pemikiran dalam mengantisipasi potensi krisis ekonomi dan keuangan. Lembaga OJK – sekali lagi – sesungguhnya cukup literis dan empiris. Ketika krisis ekonomi melanda dunia pada 1930-an, sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, Australia, Korea Selatan, Austria dan Belanda tergerak untuk memisahkan fungsi pengawasan dari fungsi stabilisator dan regulator. Inggris dan Jepang mendirikan Financial Services Authority (FSA), Australia dengan “bendera” Australian Prudential Regulatory. Memang, sebagian mereka kini kembali ke penyatuan fungsi pengawasan ke bank sentral. Tentu, ada sejumlah pertimbangan nasional yang tidak bisa dieprsamakan dengan kepentingan Tanah Air ini.
Yang perlu kita cata, upaya mendirikan OJK bukanlah sikap reaktif, tapi lebih berdimensi antispatif karena potensi krisis terus membanyangi, apalagi situasi politik domestik masih belum kondusif. Belum mencerminkan budaya politik yang legowo atas hasil kompetisi yang berlangsung. Sementara, perkembangan situasi ekonomi global juga “fluktuatif” akibat pertarungan atau krisis energi minyak dan sejumlah faktor lainnya. Karenanya, tidaklah berlebihan muncul pemikiran, BI harus secepatnya dikembalikan ke “khittah”nya: menjaga stabilisitas moneter atau – dengan kata lain – pemangku kebijakan moneter. Sikap ini tak lepas dari kegagalan sistem pengawasan bank sentral yang berdampak pada krisis keuangan domestik, bahkan global. Kegagalan sistem pengawasan menjadi faktor pemicu krisis yang – bisa jadi – sistemik. Inilah potensi yang harus diantisipasi dengan cerdas, penuh kesadaran. Karenanya, mengantisipasi – mempercepat kehadiran OJK – adalah kewajiban moralistik yang harus diperjuangkan selaku anak-bangsa, apalagi sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat dan pemimpin bangsa. Namun demikian, upaya pengubahan sistem itu perlu kehati-hatian, karena ketidakpastian di sektor keuangan bisa berpengaruh destruktif (ketidakpercayaan) bagi para pelaku sektor keuangan, baik domestik ataupun asing. Inilah tantangan merumuskan UU OJK yang konstruktif-efektif.
Secara formal, RUU OJK sudah digulirkan sejak 2002. Sebuah renungan, mengapa hingga kini belum terundangkan? Kita harus membaca dengan arif, persoalan menimbang efektivitas pemisahan fungsi pengawasan dan tetap berada dalam pangkuan BI masih dalam perbincangan serius. Di satu sisi, terlihat situasi yang menggambarkan tarik-menarik antara melepaskan fungsi pengawasan versus mempertahankannya dalam tubuh BI. Sebagian publik melihat adanya konflik kepentingan dalam internal BI. Hal ini bisa kita cermati pada “proposal” yang sudah diseiapkan BI: menempatkan fungsi pengawasan sistem perbankan tetap berada di tangan BI tapi diarahkan untuk mengawasi sistem keuangan makro. Konkretnya, OJK hanya merupakan komite atau board yang bernama OJK yang bertugas khusus menyusun kebijakan terkait micro produntial bank. Sikap BI juga diperkuat dengan mekanisme kerja bahwa pemisahan fungsi pengawasan bisa berdampak pada kurangnya data atau informasi yang cepat dan menyeluruh tentang keadaan perbankan nasional. Sementara, pengetahuan itu dapat meningkatkan analisis dan prediksi kondisi keuangan yang dibuat oleh bank sentral.
Dapat dipahami landasan pemikiran BI yang terkesan enggan melepaskan fungsi pengawasannya. Namun demikian, BI juga perlu menatap sejumlah realitas bahwa nilai tukar rupiah selalu bergerak liar dan hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi BI terkurang konsentrasinya bagaimana segera menstabilkannya. Di sisi lain, BI juga perlu melihat dengan arif tentang perkembangan industri jasa keuangan, terutama sejak era konglomerasi keuangan tumbuh. Pendek kata, menghadirkan lembaga pengawasan independen dari BI sejatinya untuk memaksimalkan fungsi pengawasan yang tercatat kontraktif selagi menjadi kesatuan dengan fungsi stabilisator dan regulator. Inilah pertimbangan yang harus dikedepankan dan dimaklumi bersama antar semua komponen perumus.
Kini, yang perlu dibangun adalah bagaimana kehadiran OJK yang menjawab tuntutan saat ini dan mendatang yang tentu harus lebih baik. Yaitu, mekanisme kerja sama di antara dua institusi (BI – OJK yang independen) tetap harus terjaga dalam koridor menjaga kepentingan ekonomi negara dan bangsa. Mekanismenya, saling suplai data atau informasi yang dibutuhkan kedua pihak.
Akhirnya, pemisahan pengawasan sistem keuangan harus dirancang dengan penuh sadar dan tanpa muatan politis tertentu untuk menghindari gejolak krisis. Andai krisis tetap melanda, sudah ada aturan main sehingga tak perlu lagi ada tragedi seperti yang baru-baru ini tergelar: kasus BC, yang sangat menyita energi dan waktu para wakil rakyat, hubungan pemerintahan yang kurang sedap dan akhirnya dinamika politik yang memanas dan menelan korban.
Bagaimanapun, pemisahan fungsi itu juga – secara sistimatis – untuk menghindari potensi dan kemungkinan konflik kepentingan. Dengan demikiman, kehadiran UU OJK yang independen – sejatinya – berdimensi jauh ke depan. Sebuah konstruksi penyelematan drama keuangan yang berimbas bagi kondisi ekonomi dan politik nasional. Kita harus menutup drama pahit itu agar tidak dijadikan pintu masuk bagi para patualang politik praktis yang cara pandang dan aksinya sangat sempit. Semoga, Allah memperlancar niat baik kita bersama. Itulah relevansi kuat prinsip “tias politica” yang perlu diartikulasikan ke dalam sistem pengawasan keuangan.
Jakarta, 18 Maret 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar