Kamis, 29 April 2010

Achsanul Qosasi, Panja Pajak Belum Kerja, Kenapa Perlu Bentuk Pansus

           DPR tak mau ketinggalan dalam mengungkap mafia pajak. Lewat Panitia Kerja (Panja) Pajak, DPR mencoba menguak penyimpangan yang terjadi dalam pengumpulan pundi-pundi keuangan negara ini. Panja akan fokus pada dua hal. Pertama, praktik mafia pajak yang diduga dilakukan Gayus Tambunan Cs. Kedua, proses penyelesaian sengketa pajak di pengadilan pajak. Hari ini, Panja akan memanggil Dirjen Pajak M. Tjiptardjo untuk dimintai ke terangan. 

           Panja Pajak dibentuk sebelum kasus Gayus mencuat. Panja ini gabungan Komisi III dan Komisi XI. Komisi III membidangi masalah hukum. Sementara, Komisi XI membidangi keuangan. Beberapa anggota Dewan ingin DPR membentuk panitia khusus (Pansus) untuk membongkar mafia pajak. Alasan mereka, masalah ini perlu mendapat perhatian serius sehingga harus ditangani oleh sebuah pansus. Pansus memiliki kewenangan yang lebih besar dari panja. 

           Tapi, Komisi XI keberatan dibentuk Pansus Mafia Pajak. Mengapa? Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi. 

Kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan Cs telah menyita perhatian publik seperti kasus Bank Century. Beberapa anggota Dewan mengusulkan agar dibentuk pansus. Kenapa Komisi XI menolak? 
Kami bukan tidak setuju terhadap dibentuknya Pansus kasus pajak ini. Panja Pajak sudah ada. Panja ini gabungan Komisi III dan Komisi XI. Panja saja belum bekerja, kenapa perlu dibentuk pansus? Bukankah lebih baik Panja diberi kesempatan untuk bekerja. Kalau dalam proses penyelidikan yang kami lakukan ternyata mengharuskan membentuk pansus, kami akan membentuk nya. Karena belum ada tuntutan untuk membentuk pansus, maka sebaik­nya serahkan saja dulu kepada panja. 

Panja Pajak akan memanggil Dirjen Pajak. Apa yang menjadi fokus pemanggilan itu? 

Salah satu tujuan pemanggilan Dirjen Pajak ke DPR adalah untuk mengklarifikasi masalah yang sedang terjadi. Pertama kali, kami akan fokus pada masalah Gayus Tambunan yang disebut-sebut sebagai markus pajak. Fokus yang kedua adalah masalah sengketa yang terjadi pada pengadilan pajak. 

Bukankah pengadilan pajak di luar Ditjen Pajak? 

Meskipun pengadilan pajak di luar Ditjen Pajak, namun kami ingin menanyakan seberapa besar kasus sengketa pajak dan kasus permohonan wajib pajak yang diterima dan yang ditolak. Kalau diterima apa alasannya, kalau ditolak apa alasannya. Karena yang kami dengar, ketika Kantor Pelayanan Pajak mengeluarkan SKP (Surat Keterangan Pajak), hal yang sering terjadi, wajib pajak akan keberatan terhadap SKP tersebut. Biasanya Ditjen Pajak akan menolak keberatan wajib pajak. Akhirnya SKP ini dibawa ke pengadilan pajak untuk disi dang kan. Dan ketika sudah ma suk pa da pengadilan pajak inilah, orang seperti Gayus ini akan berperan untuk memainkan ka sus. Kami ingin mencari in formasi yang sebenarnya terjadi di pengadilan pajak. Hal ini menjadi penting, bagai mana Dirjen Pajak mengetahui ka s us sengketa pajak yang diba wa ke pengadilan pajak, kemu dian pemerintah kalah. Muncul tanda tanya besar mengapa pe me r intah selalu kalah. 

Gayus Tambunan sudah di pecat. Beberapa anggota komplotannya dinonaktifkan dan diperiksa. Apakah DPR puas dengan langkah ini? 

Respons Dirjen Pajak terhadap kasus Gayus sudah cukup bagus. Gayus dipecat dan beberapa atasannya dinonaktifkan. Tapi, menurut saya, permasalahannya bukan itu. Yang harus dilakukan oleh Dirjen Pajak adalah bagai mana mengefektifkan penga wasan terhadap pegawai pajak agar tidak muncul Gayus-Gayus baru di kemudian hari. Termasuk juga masalah pengadilan pajak yang selama ini tertutup oleh publik. Kami berharap semua orang dapat mengakses sengketa yang terjadi di pengadilan pajak. Kalau sudah masuk ranah sengketa, publik berhak mengetahuinya, tidak perlu ditutup-tutupi. 

Ada desakan agar Dirjen Pajak dinonaktifkan agar mempermudah pemeriksaan. Anda setuju? 

Saya tidak setuju kalau Dirjen Pajak mundur atau dinonaktifkan dari jabatannya. Dia harus bisa menelusuri dan mencari tahu sampai sejauh mana penyimpang an yang dilakukan anak buahnya. Tapi kalau Dirjen Pajak dipecat, saya rasa bukan jalan keluar. Mengingat hasil kerja Dirjen Pajak bisa dikatakan cukup baik. Misalnya, dalam sisi kuantitas, Dirjen Pajak berhasil mencapai target penerimaan pajak. Tapi dari segi kualitatif, dia bisa dikatakan gagal. Misalnya, dia gagal melakukan pengawasan sehingga bisa ada seperti Gayus. 

Berarti Dirjen Pajak harus turut bertanggung jawab karena gagal melakukan pengawasan? 

Masalah sanksi itu bukan wewenang kami, biarkan Men keu yang memberikan. Kami hanya ingin menekan agar Dirjen Pajak melakukan reformasi menyeluruh di instansinya. Kalau perlu, Dirjen Pajak mempersilakan BPK untuk mengaudit anak buahnya. 

Jadi DPR akan mempersilakan BPK mengaudit pegawai pajak? Padahal, selama ini BPK dilarang mengaudit instansi itu? 


Mungkin saja itu akan kami sam paikan kepada Dirjen Pajak nanti. Saya pribadi pun juga setuju kalau harta kekayaan pegawai pajak diaudit. Masalahnya, proses audit itu butuh waktu lama. Kalau mau dilakukan, sebaiknya tidak saat ini. Tetapi setelah kasus ini ter­ungkap. Audit dilakukan oleh BPK secara tertutup saja. 

Apakah Komisi XI akan mengevaluasi program renumerasi kepada pegawai Kementerian Keuangan yang dianggap gagal oleh sejumlah pihak? 

Renumerisasi diberikan kepada institusi yang berhasil melakukan reformasi birokrasi. Menkeu sudah berhasil melakukan reformasi birokrasi, meskipun di Ditjen Pajak masih ditemukan orang-orang seperti Gayus. Bila dalam pemeriksaan DPR nanti ternyata banyak sekali “Gayus-Gayus” di lingkungan Ditjen Pajak, maka kami tahan dulu pemberian renumerisasi. Tapi kalau tak banyak penyimpangan, renumerisasi bisa tetap dijalankan. Jangan sampai ulah satu orang seperti Gayus akan mengorbankan pegawai pajak lainnya yang telah bekerja secara profesional.

Rabu, 28 April 2010

Achsanul Qosasi: “Stop Politisasi Kasus Century”



PARTAI Demokrat tak gentar meski kasus Bank Century ditindaklanjuti secara hukum sesuai Pandangan mayoritas fraksi di DPR. Institusi mana yang diharapkan Demokrat menindaklanjuti Kasus ini? “Saya lebih berharap KPK-lah yang berinisiatif menyelesaikan urusan hukumnya. Bukan karena kami tidak percaya sama Polri dan kejaksasaan, tapi unsur pidana yang diduga terjadi dalam Direksi Century itu lebih banyak pidana korupsi,” ujar anggota Pansus Caentury DPR dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasi kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Rabu (24/2).

Tapi kepolisian dan kejaksaan juga sama-sama menyatakan siap menindaklanjuti?
Kalau kepolisian dan kejaksaan sama-sama siap, itu malah bagus. Tinggal ketiga institusi ini bekerjasama. Nanti dipilih mana yang pa-ling siap. Kalau misalnya KPK lebih sibuk karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, kepolisian dan kejaksaan bisa bekerjasama untuk menyelesaikannya.

Jadi, Partai Demokrat setuju pengusutan kasus hukumnya?
Kami mendukung sepenuhnya apabila ada tindakan membobol Bank Century untuk kepentingan pribadi maupun kelompok untuk diproses secara hukum menurut perundang-undangan yang berlaku.

Bukankah Demokrat menilai tak ada pelanggaran dalam proses bailout?
Memang Fraksi Demokrat tidak melihat adanya kesalahan dalam kebijakan dana talangan untuk Bank Century yang dilakukan oleh BI dan KSSK. Kesalahan yang terlihat hanya terletak pada manajemen Bank Century dan BI pada masa proses akuisisi dan merger Bank Century pada tahun 2001. Oleh karena itu, dalam pandangan akhir fraksi kami, rekomendasi penerapan proses hukum hanya ditujukan untuk manajemen Bank Century. Tapi, ingat, BI dan KSSK tidak bisa disalahkan secara kebijakan. Karena bailout dilakukan terhadap Bank Century yang mana itu ditengarai sebagai bank gagal berdampak sistemik, karena itu, tidak melanggar hukum.

Tapi opini publik sudah terlanjur menganggap Sri Mulyani dan Boediono sebagai pihak yang bersalah?
Inilah bahayanya kalau kasus diarahkan dan dibentuk secara sembarangan. Yang lebih berbahaya jika persoalan itu dipolitisasi, kemudian menjadi alat tawar-menawar. Lebih baik kita serahkan kepada jalur yang semestinya. Mari kita selesaikan secara benar dan jernih. Kasus Century menjadi opini liar yang menghakimi kami, Demokrat dan pemerintah. Ini juga karena peran media dalam membentuk opini. Parahnya, media tidak ada yang memihak kita. Kalau sudah terjadi blok-blok dalam masyarakat, kan jadi susah kita mengatasinya. Kita nggak bisangomong apa-apa kalau sudah begini.

Apa solusi terbaik menurut Demokrat?
Penyelesaian secara hukum. Biarkan hukum yang berbicara. Jadikan ia sebagai panglima. Jangan dipolitisir ke ranah politik. Biar stabilitas politik terjamin, tidak terganggu, perekonomian lancar dan kondisi sosial keamanan kondusif, maka stop politisasi kasus Century. Bagi kami, kebijakan itu tidak bisa dikriminalkan.

Sumber : Indonesia Monitor

Surat Presiden, Bikin Puyeng!



Surat Presiden SBY bernomor: R-21/Pres/03/2010 tertanggal 26 Maret 2010 yang ditujukan kepada Ketua DPR jelas memancing reaksi para politisi di Komisi XI. Dalam surat itu disebutkan, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian dapat secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk menghadiri pembahasan RAPBN-P.Namun surat presiden ini membuat repot anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD). Seperti pengakuan anggota FPD dari Komisi XI Achsanul Qosasi yang mengakui memang ada yang tidak clear di surat ini.

“Bikin gue puyeng ngawalnya (surat presiden),” ujarnya kepada pers termasuk R Ferdian Andi R wartawan INILAH.COM di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/4). Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana dengan surat Presiden SBY terkait dengan pembahasan RAPBN-P 2010?
Tidak ada hubungannya, agar pembahasan ini tetap berjalan, tapi tafsirannya menjadi luas. Cuma saya melempar ke floor takut panjang urusannya. Ini murni teknis? Ya ini murni teknis, karena Bu Ani (Menkeu Sri Mulyani) ke KTT Hanoi, kan tidak bisa ikut membahas. Sedangkan pembahasan RAPBN-P harus jalan, makanya ditunjuk Pak Menko. Memang tidak dijelaskan soal ke Hanoi itu memang. Pada 26 Maret selain menugaskan Menkeu, kami juga menugaskan Menko, baik sendiri maupun bersama-sama, itu saja.

Besok skenarionya?
Ya bersama-sama dengan Menkeu dan Menko Perekonomian.

Jadi tidak ada hubungannya dengan rekomendasi DPR terkait kasus Century?
Bisa sendiri-sendiri, tidak ada hubungannya dengan rekomendasi DPR soal Bank Century atas penonaktifan Sri Mulyani. Intepretasinya jangan sampai melebar.

Wajar tidak Menko dan Menkeu hadir dalam waktu bersamaan?
Ya tidak wajar, makanya jangan sampai kalau hanya Menkeu yang hadir, jangan sampai mengurangi keabsahan ini. Menkeu sendiri sah, sejak jaman kuda tidak ada didampingi Menkeu.

Apa makna dari surat ini?
Tidak ngerti, surat presiden itu, mengkhawatirkan Bu Ani ke luar negeri, itu saja. Sehingga nanti kalau Bu Ani hadir kemari, tidak perlu datang Menko ke sini. Tapi memang tidak clear di surat ini. Bikin gue puyeng ngawalnya.

Sumber : Inilah.Com

Senin, 26 April 2010

Achsanul Qosasi Pimpin PD Sumenep


Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasi dinyatakan sebagai pimpinan Partai Demokrat Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dengan status sebagai ketua pelaksana.
Penegasan itu diungkapkan anggota KPU Kabupaten Sumenep, Hidayat Andiyanto, Sabtu (13/2), setelah melakukan klarifikasi kepada DPP Partai Demokrat, terkait adanya dualisme kepimpinan di Partai Demokrat Sumenep.
“Kami sudah memegang SK DPP Partai Demokrat Nomor 1 Tahun 2010 yang asli tentang persoalan itu sebagai bukti sekaligus pegangan. Saat ini, kami sudah berani memastikan pimpinan Partai Demokrat Sumenep yang sah dan diakui DPP Partai Demokrat adalah Qosasi,” kata Andiyanto.
Hidayat Andiyanto mengemukakan, dalam SK DPP Partai Demokrat tersebut juga disebutkan Abdul Mufi Asmara diberhentikan sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Sumenep.
“Selanjutnya, DPP Partai Demokrat mengangkat Qosasi sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPC Partai Demokrat Sumenep. Karena itu, untuk kepentingan Pemilu Kepala Daerah Sumenep, kami hanya akan menerima dan menindaklanjuti surat yang diajukan Qosasi,” katanya menambahkan.
Beberapa waktu lalu, KPU Sumenep belum berani memastikan pimpinan Partai Demokrat setempat yang sah.
Sehingga, anggota KPU Sumenep “membiarkan” dua pimpinan Partai Demokrat setempat, yakni Abdul Mufi Asmara dan Abdul Azis Salim Sabibie yang mewakili Achsanul Qosasi, mengikuti rapat koordinasi dengan pimpinan partai politik terkait tata cara pengajuan calon pada pilkada pada tanggal 8 Februari 2010.
Sumber : Matanews.com

Kamis, 22 April 2010

Zakat Pengurang Pajak?

Zakat Pengurang Pajak?
Oleh Achsanul Qosasi
Bukanlah gagasan atau keinginan baru. Itulah zakat sebagai faktor pengurang pajak. Dan kini, gagasan itu bergulir kembali sejalan dengan proses legislasi yang kini sedang digodok di parlemen. Yang perlu kita lebih jauh, adakah imbas posotif konstruktif sebagai penambah akumulasi pendapatan negara?
Ada beberapa hal yang perlu kita catat lebih jauh dari gagasan itu. Pertama, sejalan dengan kasus perpajakan yang kini sedang menguak, maka sebuah kemungkinan yang paling rasional adalah para insan pajak kini “tiarap” (menyelamatkan diri), dari level tertinggi hingga terbawah, termasuk office boy, sekalipun mereka bukan karyawan struktural. Mereka tak akan lagi agresif menjalankan tugasnya dalam mengejar para wajib pajak.
Dengan peta kinerja aparat pajak yang “meloyo” tersebut – di atas kertas – pendapatan pajak akan berkurang secara signifikan. Yang bakal terlihat dominan adalah aksi kerja para petugas pajak yang lebih bersifat administratif, bersifat pasif dan tidak seperti biasanya: getol menegur bahkan memberikan sanksi. Setidaknya, tidak bosan-bosannya mengancam kepada para pembayar pajak yang terlambat, apalagi mengemplang. Perubahan irama kerja tak lepas dari sorotan publik dan aparat hukum yang memang sedang “menyisir” para oknum yang – secara sporadis – hampir eksis di setiap lini, di kantor pajak manapun.
Dengan perubahan sikap mental aparatur pajak yang melemah itu maka kontribusi pajak (PPn, PPh, PBB, cukai, bea masuk dan keluar, pajak migas) tak akan mencapai Rp 347 trilyun atau 12,5% dari total PDB (2005). Atau, tak akan mencapai Rp 409,2 triyun atau 12,3% dari total PDB (2006). Akan lebih kecil dari Rp 491 triyun atau 12,4% dari total PDB sebagaimana yang dicapai pada 2007. Juga tak akan lebih besar dari perolehan tahun 2008 yang nilainya mencapai Rp 658,7 triyun (13,3% dari total PDB). Dan sulit diharapkan untuk mengungguli perolehan pajak tahun 2009, yang nilainya mencapai Rp 725,8 trilyun atau 12,1% dari total PDB (2009).
Jujur kita harus sampaikan, perolehan pajak pertahun tersebut – jika kita amati perilaku oknum petugas dan atau pejabat pajak – sesungguhnya bukan nilai riil atau obyektif. Akan sangat mungkin jauhlebih besar dari pendapatan itu. Yang menjadi persoalan, penyakit korupsi dan atau kolusi di sekitar perpajakan belum berhasil dibersihkan. Sistem pengawasan melekat yang dijalankan tidak efektif. Bagaimana menjalan fungsi pengawasan, sementara tangan-tangan yang bergerilya justru atasannya. Dan kini, sekalipun aparat penegak hukum bergerak, mungkinkah penyakitnya terobati? Sangat kecil kemungkinannya. Faktornya, minimalitas instrumen penertibannya, baik dari sisi peronilnya ataupun sarana dan prasarana penegakan hukum, di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan bahkan lembaga pemasyarakaran. Ketidakberimbangan jumlah perangkat versus jumlah oknum yang menyeruak di seantero Nusantara, hal ini praktis akan memudarkan integritas penegakan hukum. Implikasinya sangat kontraktif bagi pendapatan negara dari sektor pajak. Lalu, bagaimana nasib pembangunan Indonesia ke depan?
Potret buram itu tentu harus dicari kerangka solusinya. Pendekatan normatifnya tak akan jauh dari penggenjotan sektor migas, pariwisata dan sektor pertanian. Sebuah upaya yang tentu harus kita hargai. Tapi, di sisi lain, sesungguhnya ada sektor yang harusnya bisa dirancang-bangun secara konstruktif. Itulah zakat.
Sejauh ini, sebagian muzakki menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola yang berbadan hukum jelas dari unsur pemerintah atau LSM. Bahkan, ditampung dan dikelola oleh lembaga independen yang relatif tak jelas badan hukumnya. Ada pula yang dikelola langsung oleh sang muzakki. Tak dapat disangkal, nilai zakat yang dikeluarkan para muzakki relatif belum mencerminkan angka obyektif sesuai dengan jumlah pembayar zakat ataupun total nilainya. Hal ini terkait dengan kualitas keberimanan sang pembayar zakat dan inilah tugas para pihak dalam membangun kesadaran muzakki. Dalam kerangka maksimalisasi penggalian nilai zakat kiranya menjadi urgen jika lahir UU yang relatif merangsang para muzakki. Di sinilah gagasan dan atau keinginan zakat menjadi faktor pengurang sungguh bermakna konstruktif.
Yang perlu kita catat, gagasan itu berangkat dari upaya bagaimana meningkatkan kualitas keberimanan dalam mengeluarkan zakat yang memang jelas instruksinya, bahkan sanksinya bagi yang mengingkari kewajibannya. Tapi, gagasan itu juga perlu diperkuat dengan sikap meringankan beban pengeluaran. Di mata kalangan religius, mereka akan lebih rela mengeluarkan zakat. Implikasinya, mereka tak akan mempersoalkan sikap “main mata” dalam urusan zakat. Inilah fenomena yang mereduksi pendapatan pajak. Sikap yang a nasionalis ini bisa dielimnir dengan konstruksi kebinjakan politik-ekonomi yang memasukkan zakat sebagai faktor pengurang pajak.
Konstruksi kebijakan itu – di atas kertas – akan menggiring kerelaan semua pihak yang menjalankan kedua kewajiban secara sekaligus. Dalam hal ini yang harus digaris-bawahi adalah keberhasilan menyiasati para pembayar pajak yang main mata atau motif lainnya. Juga, mendorong para muzakki karena ada nilai yang mengurangi beban itu. Totalitas keberhasilan menggalang pembayar pajak dan zakat sungguh menjawab krisis yang kini melanda sektor perpajakan. Inilah peran negara dan UU yang mampu melakukan terobosan atas persoalan pajak dan zakat yang kini kian dibutuhkan formasinya. Sekali lagi, pengeluaran zakat sebagai faktor pengurang akan mendorong motivasi kejujuran para pembayar zakat dan pajak yang nilainya sungguh konstruktif untuk misi pengembangan dan atau pembangunan negara dan bangsa. Kejujuran itu sungguh mahal dalam “membeli” kepercayaan.
Bagaimana dengan masyarakat nonmuslim yang – secara prinsip agamis (Islam) – memang tak diwajibkan? Tentu, ketentuan itu diberlakukan bagi wajib pajak yang muslim. Namun, andaikan mereka juga melakukan pembayaran zakat sebagaimana ketentuan agamanya masing-masing, kiranya harus ada toleransi bagi pemerintah dalam mendudukkan persoalan pajak. Tapi, yang jauh lebih penting untuk dicatat adalah kesadaran sikap keberagamaan dalam membayar zakat akan menguatkan motivasi untuk membayar pajak. Inilah sikap yang harus disikapi secara positif-konstruktif oleh negara/pemerintah.
Akhirnya, gagasan zakat sebagai pengurang pajak perlu dirancang dan direspons positif sebagai tekad kebersamaan membangun negeri dan bangsa ini. Dan gagasan ini perlu dilihat danb disikapi secara proporsional, bukan masalah syariatisasi, tapi asas manfaat untuk seluruh komponen bangsa. Selamat datang gagasan yang kini sedang memasuk ruang sidang-sidang khusus di parlemen. Insya Allah, kita bersama-sama untuk misi kemasalahatan itu.
Jakarta, 22 April 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Rabu, 21 April 2010

Mata Uang Bersama ASEAN?

Mata Uang Bersama ASEAN?
Oleh Achsanul Qosasi
Sebenarnya, tidaklah terlalu mengejutkan. Itulah gagasan “penggunaan mata uang bersama ASEAN” sebagai alat transaksi antar masyarakat Asia Tenggara. Gagasan yang disampaikan Bank Sentral Vietnam jelang pertemuan puncak KTT ASEAN ke-16 di Kota Nha Thang itu sesungguhnya pernah disampaikan – setidaknya disinggung – pada beberapa KTT ASEAN sebelumnya. Dan KTT ASEAN pada 8 - 9 April lalu di Vietnam pun disampaikan lagi. Adakah urgensi kuat di balik upaya menggulirkan gagasan itu?
Memang relatif urgensi pemberlakuan mata uang bersama ASEAN itu. Namun, karakter globalisme yang cepat mempengaruhi kondisi regional bahkan sampai ke tingkat masing-masing negara membuat siapapun selaku pemimpin harus bersikap kritis bagaimana mencari kerangka solusi konstruktif atas dinamika ekonomi yang terjadi di lingkungan internasional itu. Seperti kita ketahui bersama, pada 2008 lalu terjadi krisis ekonomi global. Diawali krisis keuangan Amerika, kemudian meluas ke sejumlah negara Eropa dan negara-negara berkembang, semuanya menerjang posisi ekonomi banyak negara, meski dengan kualitas dampak berbeda-beda. Dan, alhamdulilah, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang terhindar dari krisis keuangan global itu, meski tetap, antisipasinya menyerempet persoalan tersendiri. Tapi, inilah tingkat risiko dalam menghadapi situasi ekonomi sulit yang kadang sangat dilematis. Berangkat dari karakter ekonomi global yang sangat rentan terseret krisis itu, maka gagasan penguatan ekonomi regional menjadi sangat strategis dan urgen. Misinya jelas: menghindari potensi keterulangan krisis ekonomi global yang dampaknya meluas, sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk membangun masyarakat ASEAN yang jauh lebih sejahtera dan merata, tidak njomplang.
Berlebihankah gagasan rekonstruktif itu? Tidak. Gagasan itu cukup historikal. Jika kita tengok gerakan ekonomi masyarakat Uni Eropa, mereka – sejak tahun 1952 – sudah terpanggil bagaimana mendayagunakan ekonomi berbasis regional. Sangat boleh jadi, gagasan ekonomi regional ini merupakan reaksi dari lahirnya North Amarican Free Trade Area (NAFTA), sebuah gerakan ekonomi proteksionistik ala Amerika, Kanada dan Meksiko. Ketiga negara berbasis regional Amerika belahan utara ini berhasil membukukan kue ekonomi sangat spektakuler, meski cukup memukul kepentingan eksportir dari Eropa dan lainnya dari Asia. Tapi, kekecewaan itu membangkitkan kesadaran untuk mendayagunakan potensi ekonomi regionalnya. Pasar Tunggal Eropa adalah jawaban nyata yang ternyata cukup fantastik hasilnya. Berdasarkan laporan Bank Dunia mutakhir, kini 10 negara yang tingkat GDP perkapitanya terbesar di dunia, semuanya dari Eropa. Yaitu, Luxemburg, Norwegia, Swiss, Irlandia, Denmark, Islandia, Belanda, Swedia, Finlandia dan Austria. Dan reputasi kinerja ekonominya berkorelasi positif pada tingkat perkembangan ekonomi masyarakat dan atau bangsanya.
Berkaca dari kekuatan nyata ekonomi Uni Eropa, kiranya tidaklah berlebihan jika ASEAN kini berusaha mengadopsinya. Tentu derngan landasan sejumlah tingkat keunggulan obyektif potensi ekonomi regionalnya. Seperti kita ketahui, sumber daya alam ASEAN – katakanlah dari komoditas pertanian dan atau perkebunan – relatif menguasai pasar dunia. Sebagai gambaran, komoditas crude palm oil (CPO) dari Indonesia dan Malaysia tertinggi volume produksinya. Kedua negara ini peyumpang ekpor CPO dunia sampai sekitar 80%, meski dominasi pasarnya tidak mampu menjadikan dirinya sebagai prici maker (penentu harga). Di sisi lain, karet Indonesia dan Thailand termasuk eksportir utama dunia. Lada asal Indonesia, Malaysia dan Vietnam juga merupakan unggulan dunia. Demikian juga untuk hasil hutan seperti kayu lapis, log, rotan, tak bisa disangsikan lagi. Potensi sumberdaya ini akan menaimabh nilai dan kualitasnya jika diaitkan dengan sumber daya alam lainnya (mineral dan lain-lain), plus sumberdaya manusia. Harus kita catat, jumlah penduduk ASEAN merupakan magnet pasar yang luar biasa. Dengan mencermati pertumbuhan ekonomi sejumlah negara ASEAN, realitas potensi ini menjadi daya dorong untuk agresivitas ekpostir untuk berlaga di pasar ASEAN, di samping gerakan investasi.
Secara simplistis kita dapat mencatat, potensi ekonomi berbasis regional Asia Tenggara sungguh prospektif. Karenanya, sungguh prospektif pula jika muncul pemikiran untuk membangun pasar bersama ASEAN. Pemikiran ini akan menjadi riil jika dibarengi dengan gagasan pemberlakuan mata uang bersama ASEAN. Inilah alat transaksi krusial, sebagaimana Euro dapat memainkan peran maksimal di tegah Uni Eropa yang segera mengangkat perekonomian negara-negara Eropa itu.
Kini, bagaimana membangun visi-misi bersama untuk membumikan mata uang ASEAN? Tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berkaca pada Euro, realisasi penyatuan mata uang Uni Eropa perlu waktu sekitar 50 tahun (awal muncul gagasan pada 1952, baru terealisasi 1 Januari 2002). Maka, mata uang ASEAN pun sangatlah mungkin mirip, meski tidak sama persis. Beberapa hal mendasar yang mengemuka adalah bagaimana masing-masing negara ASEAN menyamakan tingkat nilai tukar mata uang agar dirasakan “adil” ketika dikonversi ke mata uang ASEAN itu. Sangatlah mungkin, Singapura, Brunei Darussalam yang mengunakan dolar akan merasa lebih unggul dan bahkan rugi jika nilai mata uangnya lebih rendah ketika “membaur” ke mata uang ASEAN. Malaysia ataupun lainnya yang memang lebih tinggi nilai tukarnya pun akan merasakan hal sama. Posisi psikologis ini juga terlihat pada Inggris, yang hinggi kini masih terlalu percaya dengan poundsterlingnya, sehingga belum rela melepaskan diri lalu masuk total ke sistem mata uang Euro. Kiranya, apa yang diperlihatkan Inggris juga akan terlihat pada proses penyatuan mata uang ASEAN.
Di sisi lain, juga akan terbentur psikologi para pengambil kebijakan masing-masing negara ASEAN dalam kerangka membangun konstruksi sistem moneter yang adaptif untuk semua negara ASEAN. Penyamaan visi bahkan implementasi (misi) merupakan pertarungan tersendiri. Namun, perbedaan yang muncul akan mengerucut pada manfaat besar kebersamaan mata uang regional, di samping makna konstruktif dari bahaya leten krisis ekonomi global yang terus menguntit, meski dimainkan oleh beberapa gelintir fund manager. Itulah dua hal penting yang berpotensi akan membangun kesadaran baru para perancang mata uang bersama ASEAN.
Tantangan lain yang tak kalah krusialnya adalah kekuatan hegemoni dolar. Hal ini
perlu kita soroti sejalan dengan gagasan pemberlakuan mata uang bersama itu – secara diametal – pasti akan berhadapan dengan kekuatan dolar. Harus kita catat, pemberlakuan mata uang bersama ASEAN itu – secara teoritik – akan mengurangi kebutuhan bahkan ketergantungannya terhadap dolar. Masyarakat bisnis bahkan negara/pemerintah – setelah mata uang ASEAN berlaku – membutuhkan mata uang dolar hanya karena ikatan transaksional dengan sejumlah negara importir atau donor yang menggunakan dolar. Hal ini menunjukkan adanya prediksi kontraksi permintaan obyektif terhadap dolar, secara perlahan atau signifikan, tergantung komitmen kuatnya.
Bagi “produsen” dolar, kontraksi penggunaan dolar merupakan ancaman serius, apalagi jika dikaitkan politik negara produsen dolar. Tapi, para produsen pun tak bisa bersikap egoistik melihat kecenderungan global penggunaan mata uang yang berbasis regional seperti Euro atau Dinar. Kehadiran kedua mata uang nondolar – jika dicermati secara bijak – sejatinya merupakan faktor penting untuk membangun perimbangan sistem keuangan (alat transaksi) global. Sejauh ini, tiadanya mata uang pengimbang menjadikan para fund manager sering berulah, yang dampaknya negatifnya mengglobal. Di sinilah, kehadiran mata uang ASEAN bisa menjadi penambah kekuatan perimbangan atas mata-mata uang regional yang ada (Euro dan Dinar). Kiranya, yang harus ditangkap substansinya bukanlah posisinya sebagai pesaing, tapi justru sebagai stabilisator sistem keuangan dunia. Konteksnya harmonisasi, bukanlah membangun kepanikan yang berbuntut kericuhan, kehancuran sosial-ekonomi anak-bangsa, di samping para pelaku ekonomi dan negara atau pemerintah juga menjadi sasaran tembak.
Kini, gagasan mata uang bersama ASEAN sudah terhembus, termasuk pada KTT ASEAN yang baru lalu (8 – 9 April) di Nha Thang - Vietnam. Karenanya, hal krusial yang harus dibangun adalah bagaimana mewujudkannya. Dan kiranya, para pemimpin ASEAN saat ini harus mampu meletakkan fondasi untuk agenda besar pemberlakuan mata uang ASEAN itu. Fondasinya harus mengikat meski pemimpin atau kepala pemerintahan negara-negara ASEAN berganti tokoh. Mungkinkah, gagasan yang terkesan fatamorganik ini termujud? Jawabannya, mengapa tidak. Setidaknya, itulah yang dapat kita petik dari perjalanan mata uang Euro.
Jakarta, 18 April 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Trias Politica dan Sistem Pengawasan Keuangan

Trias Politica dan Sistem Pengawasan Keuangan
Oleh Achsanul Qosasi
Amanat konstitusi. Itulah mendirikan lembaga pengawasan keuangan independen seperti yang tertuang dalam Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terbentuk paling lambat pada 31 Desember 2010. Sebuah amanat yang intinya memisahkan fungsi pengawasan sistem keuangan dari bank sentral (BI), tak ubahnya “tias politica” dalam kontek sistem politik. Yang perlu kita teropong, sampai sajuh mana makna konstruktif dari amanat konstitusi itu bagi upaya membangun sistem pengawasan keuangan nasional?
Jika kita buka kembali landasan historisnya, keinginan atau rencana memisahkan sistem pengawasan dari apa yang selama ini menjadi tugas dan fungsi BI tak jauh dari sejumlah krisis yang menghinggapi. Kasus kebobolan ke Bank Century (BC) – sulit disangkal – merupakan implikasi dari lemahnya sistem pengawasan BI yang tidak tanggap atas muslihat managemen BC. Manipulasi yang dilakukannya tidak langsung diketahui dan hal ini berimplikasi pada meningkatnya kerugian negara. Inilah konsekuensi sistem pengawasan jasa keuangan yang masih menyatu pada lembaga bank sentral, yang berfungsi juga sebagai regulator dan stabilisator. Penyatuan tiga fungsi sekaligus – tak bisa dipungkiri – cukup berat bebannya, apalagi dengan kondisi perekonomian global yang sering bergejolak dan tak terduga-duga sebelumnya. Karena itu, menjadi proporsional amanat konstitusi itu yang siap menanggalkan salah satu fungsinya (pengawasan).
Kita perlu menggaris-bawahi, kiranya terlalu latah (reaktif) jika keinginan atau rencana mendirikan lembaga independen (OJK) karena faktor bailout ke BC itu. Ketika terjadi guncangan moneter Asia pada 1997-1998, Pemerintah mengambil langkah penguatan sistem pengawasan bank dan meningkatkan berbagai regulasi. Dan pemikiran tentang menghadirkan OJK sudah muncul. Inilah produk pemikiran dalam mengantisipasi potensi krisis ekonomi dan keuangan. Lembaga OJK – sekali lagi – sesungguhnya cukup literis dan empiris. Ketika krisis ekonomi melanda dunia pada 1930-an, sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, Australia, Korea Selatan, Austria dan Belanda tergerak untuk memisahkan fungsi pengawasan dari fungsi stabilisator dan regulator. Inggris dan Jepang mendirikan Financial Services Authority (FSA), Australia dengan “bendera” Australian Prudential Regulatory. Memang, sebagian mereka kini kembali ke penyatuan fungsi pengawasan ke bank sentral. Tentu, ada sejumlah pertimbangan nasional yang tidak bisa dieprsamakan dengan kepentingan Tanah Air ini.
Yang perlu kita cata, upaya mendirikan OJK bukanlah sikap reaktif, tapi lebih berdimensi antispatif karena potensi krisis terus membanyangi, apalagi situasi politik domestik masih belum kondusif. Belum mencerminkan budaya politik yang legowo atas hasil kompetisi yang berlangsung. Sementara, perkembangan situasi ekonomi global juga “fluktuatif” akibat pertarungan atau krisis energi minyak dan sejumlah faktor lainnya. Karenanya, tidaklah berlebihan muncul pemikiran, BI harus secepatnya dikembalikan ke “khittah”nya: menjaga stabilisitas moneter atau – dengan kata lain – pemangku kebijakan moneter. Sikap ini tak lepas dari kegagalan sistem pengawasan bank sentral yang berdampak pada krisis keuangan domestik, bahkan global. Kegagalan sistem pengawasan menjadi faktor pemicu krisis yang – bisa jadi – sistemik. Inilah potensi yang harus diantisipasi dengan cerdas, penuh kesadaran. Karenanya, mengantisipasi – mempercepat kehadiran OJK – adalah kewajiban moralistik yang harus diperjuangkan selaku anak-bangsa, apalagi sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat dan pemimpin bangsa. Namun demikian, upaya pengubahan sistem itu perlu kehati-hatian, karena ketidakpastian di sektor keuangan bisa berpengaruh destruktif (ketidakpercayaan) bagi para pelaku sektor keuangan, baik domestik ataupun asing. Inilah tantangan merumuskan UU OJK yang konstruktif-efektif.
Secara formal, RUU OJK sudah digulirkan sejak 2002. Sebuah renungan, mengapa hingga kini belum terundangkan? Kita harus membaca dengan arif, persoalan menimbang efektivitas pemisahan fungsi pengawasan dan tetap berada dalam pangkuan BI masih dalam perbincangan serius. Di satu sisi, terlihat situasi yang menggambarkan tarik-menarik antara melepaskan fungsi pengawasan versus mempertahankannya dalam tubuh BI. Sebagian publik melihat adanya konflik kepentingan dalam internal BI. Hal ini bisa kita cermati pada “proposal” yang sudah diseiapkan BI: menempatkan fungsi pengawasan sistem perbankan tetap berada di tangan BI tapi diarahkan untuk mengawasi sistem keuangan makro. Konkretnya, OJK hanya merupakan komite atau board yang bernama OJK yang bertugas khusus menyusun kebijakan terkait micro produntial bank. Sikap BI juga diperkuat dengan mekanisme kerja bahwa pemisahan fungsi pengawasan bisa berdampak pada kurangnya data atau informasi yang cepat dan menyeluruh tentang keadaan perbankan nasional. Sementara, pengetahuan itu dapat meningkatkan analisis dan prediksi kondisi keuangan yang dibuat oleh bank sentral.
Dapat dipahami landasan pemikiran BI yang terkesan enggan melepaskan fungsi pengawasannya. Namun demikian, BI juga perlu menatap sejumlah realitas bahwa nilai tukar rupiah selalu bergerak liar dan hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi BI terkurang konsentrasinya bagaimana segera menstabilkannya. Di sisi lain, BI juga perlu melihat dengan arif tentang perkembangan industri jasa keuangan, terutama sejak era konglomerasi keuangan tumbuh. Pendek kata, menghadirkan lembaga pengawasan independen dari BI sejatinya untuk memaksimalkan fungsi pengawasan yang tercatat kontraktif selagi menjadi kesatuan dengan fungsi stabilisator dan regulator. Inilah pertimbangan yang harus dikedepankan dan dimaklumi bersama antar semua komponen perumus.
Kini, yang perlu dibangun adalah bagaimana kehadiran OJK yang menjawab tuntutan saat ini dan mendatang yang tentu harus lebih baik. Yaitu, mekanisme kerja sama di antara dua institusi (BI – OJK yang independen) tetap harus terjaga dalam koridor menjaga kepentingan ekonomi negara dan bangsa. Mekanismenya, saling suplai data atau informasi yang dibutuhkan kedua pihak.
Akhirnya, pemisahan pengawasan sistem keuangan harus dirancang dengan penuh sadar dan tanpa muatan politis tertentu untuk menghindari gejolak krisis. Andai krisis tetap melanda, sudah ada aturan main sehingga tak perlu lagi ada tragedi seperti yang baru-baru ini tergelar: kasus BC, yang sangat menyita energi dan waktu para wakil rakyat, hubungan pemerintahan yang kurang sedap dan akhirnya dinamika politik yang memanas dan menelan korban.
Bagaimanapun, pemisahan fungsi itu juga – secara sistimatis – untuk menghindari potensi dan kemungkinan konflik kepentingan. Dengan demikiman, kehadiran UU OJK yang independen – sejatinya – berdimensi jauh ke depan. Sebuah konstruksi penyelematan drama keuangan yang berimbas bagi kondisi ekonomi dan politik nasional. Kita harus menutup drama pahit itu agar tidak dijadikan pintu masuk bagi para patualang politik praktis yang cara pandang dan aksinya sangat sempit. Semoga, Allah memperlancar niat baik kita bersama. Itulah relevansi kuat prinsip “tias politica” yang perlu diartikulasikan ke dalam sistem pengawasan keuangan.
Jakarta, 18 Maret 2010
Penulis: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat,

Rabu, 14 April 2010

JADUAL RAPAT KOMISI XI DPR-RI MASA SIDANG III 2009-2010

Senin 05 April 2010
09.00 - Selesai : Rapat Paripurna
: Agenda, Pidato Pembukaan Masa sidang III 2009-2010

Selasa 06 April 2010
11.00 - Selesai : Rapim Komisi XI DPR-RI
: Agenda, Membahas Program Kerja
14.00 - Selesai : Rapat Intern Panja Perpajakan
: Membahas Kelanjutan Panja Perpajakan

Rabu 07 April 2010
14.00 - Selesai : RDP Dengan Dirjen Pajak
19.30 - Selesai : RDP Dengan Dir.Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur, Dir. Direktorat Pemeriksaan dan Penanganan dan Dir. Direktorat Keberatan dan Banding Ditjen Pajak.

Kamis 08 April 2010
10.00 - Selesai : RDP dengan Susno Duaji
14.00 - Selesai : RDP dengan Brigjend Pol. Edmon Ilyas dan Brigjend Pol.Raja Erisman
19.30 - Selesai : Gayus Tambunan

Jum'at 09 April 2010 : FRAKSI

Senin 12 April 2010
10.00 - Selesai : Rapat Intern Komisi XI DPR-RI
: Agenda, Membahas Program Kerja
14.00 - Selesai : Rapat Kerja Komisi XI DPR-RI dengan Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Pjs Gubernur BI dan Kepala BPS : Agenda, Pokok2 Kebijakan Fiscal APBN 2010 dan Asumsi Makro APBN-P 2010
19.30 - Selesai : RDP dengan BPKP
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan BPKP APBN-P 2010

Selasa 13 April 2010
09.00 - Selesai : PARIPURNA
14.00 - Selesai : Raker dengan Menkeu
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan Depkeu APBN-P 2010, Penjelasan mengenai pinjaman proyek termasuk proyek multiyears dan penerusan pinjaman/Subsidiary Loan Agreement yang sudah ditandatangani dan pembahasan pinjaman yang belum ditandatangani
19.00 - Selesai : RDP dengan Sekjen BPK
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan BPK APBN-P 2010

Rabu 14 April 2010
10.00 - Selesai : Raker dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan Kementerian PPN/Bappenas APBN-P 2010
14.00 - Selesai : RDP dengan Kepala BPS
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan BPS APBN-P 2010
19.30 - Selesai : RDP dengan Kepala LKPP
: Agenda, Pembahasan RKA KL Perubahan LKPP APBN-P 2010

Kamis 15 April 2010
10.00 - Selesai : RDP Panja Perpajakan dengan Wajib Pajak
14.00 - Selesai : Raker dengan Menteri Keuangan RI
: Agenda, Optimalisasi penerimaan pajak negara dan Bea Cukai, Rencana Penerbitan PP PPN dan PPnBM

Jum'at 16 April 2010 : FRAKSI

Senin 19 April 2010
10.00 - Selesai : RDPU dengan 3 KAP ( KAP Wisnu B.Soewito & Rekan, KAP HLB Hadori Sugiarto Adi & Rekan, KAP Rama Wendra
: Agenda, Fit and Proper test dalam rangka penunjukan KAP yang akan melakukan pemeriksaan terhadap laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan BPK
14.00 - Selesai : RDPU dengan 3 KAP (KAP Rama Wendra, KAP Husni, Muharam dan Rosidi, KAP Suhartati & Rekan)
: Agenda, Fit and Proper test dalam rangka penunjukan KAP yang akanmelakukan pemeriksaan terhadap laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan BPK

Selasa 20 April 2010
09.00 - Selesai : PARIPURNA
14.00 - Selesai : Rapat Intern Komisi XI DPR-RI
: Agenda, Pengambilan keputusan Penunjukan KAP

Rabu 21 April 2010
10.00 - Selesai : Raker dengan Pjs Gubernur BI
: Agenda, Membicarakan kebijakan anggaran BI tahun 2010
14.00 - Selesai : Rapat Intern Panja Pengawasan Perbankan dan LKBB
: Agenda, membahas kelanjutan Panja Pengawasan Perbankan dan LKBB

Kamis 22 April 2010
10.00 - Selesai : RDPU Panja Perpajakan dengan Gayus Tambunan
14.00 - Selesai : Rapat Internal Panja BPUI dan Rest. SU
: Agenda, Membahas Kelanjutan Panja BPUI dan Rest. SU

Jum'at 23 April 2010 : FRAKSI

Senin 26 April 2010
10.00 - Selesai : Raker dengan Menteri PPn/Kepala Bappenas
: Agenda, Melanjutkan Raker pada MS II TS 2009-2010 dan Membahas Pembangunan Nasional 2011

Selasa 27 April 2010
09.00 - Selesai : PARIPURNA
14.00 - Selesai : RDP Komisi XI DPR-RI dengan Kepala Bapepam-LK
: Agenda, Perkembangan RUU OJK dalam persfektif pemerintah dan kinerja Bapepam

Rabu 28 April 2010
10.00 - Selesai : RDPU dengan 3 calon Deputi Gubernur BI ( Perry Warjiyo, Halim Alamsyah dan Kresna Wijaya)
: Agenda, Fit and Proper Test
19.30 - Selesai : Rapat Intern Komisi XI DPR-RI
: Pengambilan Keputusan

Kamis, 29 April 2010
10.00 - Selesai : RDP dengan PT Pemodalan Nasional Madani
: Agenda, Kinerja Perusahaan

Jum'at 30 April 2010 : FRAKSI

Senin 02 May 2010
10.00 - Selesai : Raker dengan Menteri Keuangan RI
: Agenda, Membahas rencana pemindahtanganan barang milik negara sebagai tambahan PMN ke PT PLN