Selasa, 29 Juni 2010

Menyongsong Gubernur BI

Menyongsong Gubernur BI
Oleh Achsanul Qosasi


Posisi Gubernur Bank Indonesia (BI) sudah kosong sekitar setahun dan harus segera diisi secara definitif, bukan sekedar pelimpahan tugas (pejabat sementara). Prosesnya pun harus melalui uji kepatutan (fit and proper test) DPR RI. Yang menarik untuk kita soroti, haruskah kandidat Gubernur BI orang “dalam”? Dan lebih krusial lagi, mampukah uji kapatutan ini menghadirkan Gubernur BI yang mampu  menjawab tantangan internal dan ekternal yang memang memerlukan tanggung jawab dan komitmen besar untuk sebuah agenda pembangunan ekonomi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat?

Seperti informasi yang telah tersebar luas, kandidat Gubernur BI yang diajukan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ke DPR RI itu tunggal (Darmin Nasution) dan dari dalam institusi BI. Sejumlah pihak yang tak sependapat menilai minus atas ketunggalannnya dengan dalih tiadanya alternatif, fait accompli terhadap DPR dan karenanya tidak demokratis. Bisa kita maklumi penilaian itu. Namun, calon tunggal juga mengandung sejumlah nilai positif, yaitu – pertama – mencegah rivalitas yang justru berpotensi membangun persaingan tidak sehat, kemudian dijadikan lahan gratifikasi. Secara sosiologis, pengajuan calon tunggal akan mampu menghindarkan praktik aji mumpung (carpedium) yang bersifat eksploitatif bagi oknum tim penguji. Jika mumpungisme ini dibiarkan, maka yang rugi jelas: oknum tim penguji kepatutan – sangat mungkin – akan berhadapan proses hukum. Maka, pengajuan kandidat tunggal sesungguhnya merefleksikan komitmen penegakan hukum yang bersifat preventif. Kedua – sejalan dengan sang  kandidat dari dalam BI – hal ini mengandung prinsip maksimalisasi proses yang efisien dan lebih fokus bagi tim penguji untuk melihat lebih jauh kapasitas, komitmen dan integritas sang kandidat.

Seperti kita ketahui bersama, BI saat ini – diakui atau tidak – masih diperhadapkan krisis internal yang cukup serius, di samping persoalan eksternal. Dari sisi internal – berkaca pada kasus Bank Century, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang sinyal ketidakdisiplinan (penyalahgunaan wewenang), sehingga tampak membiarkan data sebuah bank seperti Bank Century yang jelas-jelas “sakit” tetap bertahan beroperasi. Kebertahanan operasi Bank Century tidak akan pernah terjadi jika pejabat terkait fungsi pengawasan tidak terkecoh oleh gerakan kolusi yang terbangun dengan pihak pengelola dan pemilik Bank Century itu. Harus jujur kita catat, Pak Boediono yang tercatat bersih itu, saat menjabat Gubernur BI tampak “termainkan” oleh jajaran di bawahnya, sehingga data “busuk” Century tidak sampai ke tangan beliau dengan jelas. Akibat “main mata” yang terjadi, Gubernur BI selaku “komandan” tertinggi di lembaga otoritas moneter itu benar-benar terkena badai.

Menggaris-bawahi kasus Bank Century itu, kini ada kebutuhan mendesak bahwa kandidat Gubernur BI – secara konsepsional-operasional dan mental – harus mampu memimpin dan diterima di lingkungan internalnya. Akseptabilitas ini akan menumbuhkan kewibawaan tersendiri, sehingga jajarannya loyal, disiplin dalam bekerja, juga tidak berani “neko-neko” (bersekongkol) dengan pihak manapun. Untuk mencapai mentalitas kerja seperti ini, maka ada kebutuhan urgen dalam pemilihan Gubernur BI saat itu: ia haruslah seorang figur pemimpin. Masalah kepemimpinan di tengah BI saat ini sungguh diperlukan. Ia bukan hanya mumpuni pengetahuan teknis operasional dunia perbankan dan sistem moneter, tapi ia juga disegani seluruh komponen institusinya.

Kepemimpinan yang efektif akan memudahkan Gubernur menginstuksikan apapun yang dikehendaki sepanjang terkait dengan urusan tugas. Dan yang lebih krusial adalah instruksi khususnya terkait pembenahan moralitas atau kedisiplinan kerja. Perlu kita catat, aspek ini kini menjadi garda bagaimana mengkonstruksi BI ke depan yang jauh lebih nasionalis: mengedepankan kepentingan bangsa-negara. Refleksinya, ia – sebagai pemimpin – dituntut untuk ikut menunjang pembangunan sistem moneter yang mampu mendorong ekonomi sektor sektor riil. Di sisi lain – dengan kekuasaan instruktifnya – Gubernur BI harus memberikan sikap jelas kepada suluruh perbankan agar memfasilitasi gerakan ekonomi sektor riil untuk semua level, terutama menengah ke bawah.

Ketegasan itu pun harus ditunjukkan kepada bank-bank asing dalam kerangka ikut mempercepat upaya dan proses dan penumbuhan ekonomi sektor riil. Perizinan yang diberikannya – jika perlu – ditinjau ulang. Arahnya, bank-bank asing jangan hanya mengeruk keuntungan dari jasa-jasa transaksionalnya tanpa memberikan efek positif terhadap pengembangan ekonomi di tanah air, terutama sektor riil. Sekali lagi, dengan otoritasnya selaku Gubernur BI, sikap tegas terhadap bank-bank asing akan menambah kekuatan sinergis terhadap bank-bank nasional (swasta atau milik pemerintah) untuk misi penyejahteraan rakyat. Obsesi besar ini tak akan terwujud jika jatidiri Gubernur BI tak berpengaruh di mata bank-bank nasional, apalagi bank asing.

Di sisi lain, Gubernur BI mendatang juga harus berhadapan dengan arus kuat internal BI. Seperti kita ketahui, saat ini sedang digodok lembaga pengawasan yang idealnya terpisah dari institusi BI. Salah satu fungsinya – yakni pengawasan – dipisahkan. Dan BI dirancang untuk lebih konsentrasi pada upaya membangun stabilitas moneter. Urusan teknis pengawasan perbankan tidak lagi dalam otoritasnya, tapi diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus kita catat, proposal ini cenderung ditampik oleh orang-orang BI.

Kondisi itu menggambarkan adanya situasi internal BI yang sesungguhnya resisten terhadap proposal pemisahan fungsi pengawasan itu. Lalu, bagaimana Gubernur baru BI nanti mampu menghadapi arus kuat yang cenderung mempertahankan fungsi pengawasan, sementara itu, tim fit and proper test DPR lebih menghendaki pemisahan itu? Jika sang kandidat tidak sejalan dengan cara pandang DPR RI, maka ia berpotensi gagal (calon tunggal ditolak). Atau, jika ia berpura-pura sejalan dengan sikap DPR, tapi di kemudian hari “balik badan” (tetap mempertahankan fungsi pengawasan dalam BI), maka hari-hari berikutnya sang Gubernur BI akan bermasalah dengan lembaga legislatif. Di sini, tim uji kepatutan pun dituntut kejeliannya untuk melihat gelagat yang responsif terhadap keinginan kuat Dewan untuk pemisahan fungsi pengawasan, atau hanya berstrategi.

Sementara itu – dalam masa yang relatif bersamaan – ada tuntutan eksternal yang tak kalah seriusnya. Seperti kita ketahui bersama, beberapa pekan lalu tergulir gagasan untuk memberlakukan mata uang bersama ASEAN. Atas nama dan atau kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat dari kawasan Asia Tenggara ini, maka gagasan itu sungguh ditunggu realisasinya. Konsekuensinya, Gubernur BI harus mempunyai wawasan yang mumpuni bagaimana ikut mengkonstruksi sistem moneter regional. Dan kemampuan ini pun perlu ditunjang dengan akseptabilitas dirinya di mata para gubernur-gubernur bank sentral negara-negara ASEAN. Ini berarti, sang kandidat Gubernur BI saat ini juga haruslah punya kemampuan lobi dan seni meyakinkan orang lain.

Kini, sejalan dengan Pak Darmin Nasution orang dalam BI, sesungguhnya ia telah mengantongi sejumlah modalitas. Di luar kapasitasnya yang terkait dengan teknis-operasional dan wawasan seputar moneter dan fiskal, ia tak perlu lebih jauh mengadaptasi diri dengan lingkungan sejawatnya. Akseptabilitas yang cepat di lingkungan internalnya akan berpengaruh untuk mempercepat upaya pembenahan kinerja. Soliditas ini sungguh merupakan modalitas yang bermakna positif. Kiranya tidaklah berlebihan jika modalitas yang tergenggam ini akan mampu melakukan peran konstruktif lebih jauh ketika harus ikut bergerak dalam upaya pembangunan mata uang bersama ASEAN yang sudah diimpikan itu.

Akhirnya, Gubernur BI mendatang – secara paralel – harus mampu menjawab dua persoalan krusial saat ini: lingkungan internal BI yang jauh lebnih terkelola dengan baik dan dinamika eksternal yang semuanya harus direspons secara konstruktif. Responsivitas merupakan kata kunci bagi Gubernur BI agar negeri ini tidak mudah terseok-seok sistem moneternya, meski harus berhadapan kekuatan para fund manager dunia yang sangat tricky. Juga, agar regulasinya mampu memperbaiki kondisi perekonomian nasional yang mencerahkan untuk bangsa dan negara. Inilah potret Gubernur BI yang kita songsong.

Jakarta, 3 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar