Pilkada Sumenep:
Makna Konstruktif Kedewasaan NU
Oleh Achsanul Qosasi
Banyak kandidat bupati-wakil bupati berunsur Nadhatul Ulama (NU). Setidaknya, itulah yang terlihat dari mereka yang berangkat dari kendaraan Partai Kebangkitan Bangsa (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan dari kendaraan politik lainnya, meski bernuansa nasionalis seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Parati Amanat Rakyat (PAN). Kondisinya, memang seluruh kandidat itu berangkat dari basis kultural-keagamaan NU.
Kehadiran mereka – di satu sisi – menggambarkan potensi kepemimpinannya untuk memasuki blantika politik kekuasaan (khilafah) dan tentu positif maknanya. Tapi – dan hal ini menjadi keprihatinan tersendiri –, bagaimana nasib masyarakat akar rumput (grass-root) yang berbasis NU itu? Variabel ini menjadi penting untuk dilontarkan lebih jauh sejalan dengan sejumlah kandidatnya memang “berdada” NU. Sebuah konsekuensi langsung yang tak bisa diabaikan adalah masyarakat Nahdliyyin selaku pemilih akan diperhadapkan beberapa kandidat, terutama yang berbendera NU itu. Dalam hal ini akan berlaku prinsip sampai seberapa besar pengaruh sang kandidat NU terhadap basis massanya. Jawabannya sangat tergantung dari ketokohan sang kandidat selama ini. Semakin kuat modalitas sosialnya yang telah terbangun jauh sebelumnya, ia punya peluang untuk mendapatkan pengaruh yang lebih kuat. Peta sosial ini sangat mungkin berbeda antara kandidat yang satu dengan kandidat lainnya. Tapi, bukan tak mungkin, tingkat pengaruhnya relatif berimbang di antara mereka, meski berbda-beda titik keunggulannya.
Di sanalah kita bakal menyaksikan panggung kompetisi antarkandidat NU itu sendiri. Sangat bisa jadi, arahnya saling menyudutkan. Setidaknya, “perang” opini atau citra yang dibangun justru akan membuat masyarakat pemilih NU bingung: mau ke manakah harus berpihak atau menentukan sikap politiknya. Ketika situasi psikologis ini tampak mengambang, maka seluruh tim sukses ditantang bagaimana menggiringnya agar memilih kandidat yang diusungnya. Sikap seperti ini pasti terjadi pada setiap tim sukses. Di sanalah kita saksikan potensi atau benih-benih konflik antar keluarga besar NU. Setidaknya, massa NU dipecah sedemikian rupa karena kepentingan taktis kandidat dan tim suksesnya.
Seuah sketsa politik yang tampak dekat terjadi adalah kemungkinan perpecahan di antara keluarga besar NU itu sendiri. Sketsa politik ini sungguh memprihatinkan. Hanya karena kepentingan pilkada, masyarakat harus menjadi korban. Yang perlu kita garis-bawahi, bagaimana membangun “puing-puing” sosial pasca plikada itu? Tidak mudah. Sebab, dengan karakter masyarakat Madura yang keras – termasuk di Sumenep tentunya – maka kualitas kehancuran puing bisa serius. Hal ini harus disadari oleh seluruh jajaran, mulai dari tingkat elitis (pelaku pilkada), sampai ke tingkat keamanan dan ketetiban.
Pendekatan tersebut tak bisa dipisahkan dari sistem penyelenggaraan pilkada di tengah Sumenep. Itulah sebabnya, Polres Sumenep pun jauh-jauh hari sudah menentuan skap”Siaga Satu” dengan menenpatkan 100 Brimob, yang ditebarkan ke lebih dari 100 tempat pemungutan suara (TPS) dari 2.877 TPS yang dinilai berpotensi rawan. Sekali lagi, apakah pendekatan kedisiplinan ini bisa diharapkan lebih jauh untuk menangkal potensi konflik horisontal yang terjadi saat atau pasca pilkada? Belum bisa menjamin. Dalam hal ini, kiranya ada satu instrumen yang bisa dimainkan secara elegan dan bisa diharapakan efektivitasnya. Yaitu, wadah organisasi NU dan seluruh pengurusnya di berbagai level (DPC dan ranting-rantingnya) bahkan ormas-ormas NU sayapnya yang otonom dari unsur muslimat, fatayat, pemuda dan kemahasiswaannya dapat mengambil peran konsruktif di tengah pilkada Sumenep.
Misi yang harus dibangun dengan nyata adalah menjaga netralitasnya, sekaligus berusaha semaksimal mungkin mencegah benturan-benturan fisikal bahkan gesekan psikologis. Sebagai para insan yang mengumandangkan perdamaian, inilah saatnya untuk membuktikan kepada publik di luar NU bahwa jatidiri Nahdliyyin benar-benar istiqamah untuk penegakan misi kemanusiaan. Inilah saatnya untuk buktikan bahwa NU punya harga diri dan tidak rela “melacurkan diri” untuk dan atas nama kepentingan pragmatis sesaat. Dalam kaitan ini, kiranya para pengurus NU harus mampu menjadi kawah candra di muka yang memegang teguh politik moralistik, sebuah prinsip politik yang mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam pilkada. Sekali lagi, mereka dapat menentukan peran yang jauh lebih elegan dalam hingar-bingar politik demokrasi yang kompetitif itu.
Peran politik NU seperti itu jelaslah memberikan kontribusi pendidikan politik yang sunguh berguna, bagi proses penumbuhan dan pengembangan demokrasi, atau lainnya yang jauh lebih esensial: keharmonisan hubungan antar keluarga besar Sumenep. Inilah makna konstruktif dari kedewasaan politik NU yang sungguh bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan masa depan pembangunan wilayah Sumenep itu sendiri. Luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar