Pilkada Sumenep:
Mencegah Bayang-bayang Destruksi
Oleh Achsanul Qosasi
Mencari pemimpin yang terpercaya (credible) agar tercipta perubahan yang jauh lebih baik untuk kemakmuran rakyat. Itulah idealitas pilkada langsung di tengah Kabupaten Sumenep pada 14 Juni mendatang. Akan tercapaikah idealitas itu? Atau justru destruksi di mana-mana, sehingga mengakibatkan kesengsaraan dan atau kemelaratan? Lalu, untuk apa perhelatan pilkada langsung di tengah Sumenep yang menelan biaya sekitar Rp 20 milyar itu?
Kita tentu tidak boleh pesimis sebelum melangkah. Biaya pilkada langsung yang terkategori tinggi adalah konsekensi logis dari menjalankan prinsip demokrasi. Sebuah prinsip memahami kemauan publik dan konstitusi. Kita perlu mencatat, secara konseptual, tokoh terpilih secara demokratis, apalagi kualitas tokohnya sesuai persyaratan dasar, ia bisa diharapkan untuk membangun kemakmuran masyarakat dan daerahnya. Namun demikian, konsep dasar demokrasi ini tidak selamanya berjalan linier dengan harapan dan kenyataan. Fakta sosial-politik sering menunjukkan, pasca pilkada langsung, suhu politiknya justru kian memanas. Aksi massa yang kandidatnya kalah bukan hanya menterjemahkan kekecewaannya secara sehat seperti demo arak-arakan ke jalan atau di manapun dan tertib, tapi tak sedikit melakukan sejumlah tindakan anarkis: pembakaran sarana dan prasarana kantor penyelenggara pemilu (KPU), bahkan kediaman sang kandidat pemenang. Ketegangan itu pun kadang menelan waktu berminggu-minggu dan dalam teritorial yang relatif tak terbatas. Diawali dari sekitar wilayah penentu hasil pilkada (KPU) Semenep, menjalar ke KPU Jatim, KPU Jakarta, sampai Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta. Memang, jumlah partisipan dari masing-masing etape tidak akan sebesar ketika mereka berlaga di sekitar Sumenep itu sendiri.
Pemandangan tersebut itu jelaslah mengancam kepentingan sosial-politik bahkan ekonomi masyarakat. Masyarakat partisipan politik (para pemilih) – hanya karena stadium politik yang meninggi itu – harus menghentikan sjeumlah kegiatannya. Dari sisi sosial, ia atau mereka tak berani melewati batas atau wilayah yang dinilai menjadi kantong lawan. Ada pemutusan paksa dalam interaksi sosial akibat pilihan politik yang berbeda. Dari sisi ekonomi, di antara mereka pun dibayang-bayangi rasa takut dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Bukan tak mungkin – sekalipun hal ini bisa dinilai berlebihan – masyarakat di luar Sumenep pun bisa terancam kegiatan sosial-ekonominya karena sikap membabi-buta sebagian masyarakat yang kalap itu.
Kini kita perlu menerawang, bagaimana potensi bayang-bayang destruksi itu? Jika kita analisis karakter lokal masyakat Madura, kiranya tidaklah berlebihan jika muncul opini bahwa ancaman itu sungguh besar dan potensial terjadi. Analisa ini bisa diperkuat dengan kecenderungan kuat para kandidat yang punya basis massa besar dan fanatik, terutama dari dari unsur Nahdlyyin.
Kita perlu mencatat, massa akar rumput (grass-root) sanga tergantung dari para elitnya. Sepanjang para elitnya kian “mengipas” atas ketidakrelaannya menerima realitas kekalahan, maka massa bawah akan semakin ganas. Dan kita perlu catat, karakter masyarakat Madura pada umumnya siap mempertaruhkan darah bahkan nyawa jika dirinya merasa terlecehkan harga dirinya, termasuk kalah bersaing dalam pilkada. Semua ini kian membulatkan gambaran destruksi siap melanda Sumenep pasca pilkada pertama itu dalam kualitas – sangat bisa jadi – mengerikan.
Tak mungkinkah dicegah? Jawabnya, mengapa tidak. Dalam hal ini, kata kunci pencegah yang sangat rasional adalah menciptakan kesadaran para elit (kandidat dan para tim khususnya) agar bersikap legowo ketika melihat realitas kekalahan. Bahwa, dalam proses politik terdapat sejumlah “titik lemah” dan kadang dituding kecurangan, bawalah kasusnya ke ranah hukum, bukan anarkisme. Janganlah eksploitasi pendukungnya untuk memaksakan kehendak dengan pendekatan politik itu sendiri. Jika salurannya politik, maka tak akan pernah ada penyelesaian.
“Siap menang dan siap kalah” memang sudah dideklarasikan seluruh kandidat pilkada Sumenep. Tapi, kesepekatan politik – dalam perjalanan faktual – sering tidak ditaati. Seolah deklarasi itu hanyalah hiasan politik pilkada yang terjamin suasana damainya. Manis di awal. Kini, yang sangat urgen untuk dijaga adalah bagaimana mempertahankan konsistensi para kandidat atas kesepakatan itu, terutama “siap kalah”.
Barangkali, perlu dipikirkan secara hukum yang jernih, bagaimana menyikapi “ulah” kandidat dan timnya yang terus mengusik akibat kekalahannya? Dengan dalih bahwa gerakannya mendesruksikan sejumlah sarana dan prasarana bahkan berpotensi mengganggu kepentingan sosial-politik dan ekonomi masyarakat Sumenep, kiranya harus ada tindakan jelas secara hukum. Barangkali, inilah salah instrumen yang berpotensi dapat mencegah bayang-bayang destruksi di tengah Sumenep. Sebuah konsep pencegahan demi ketenangan warga dan daerah tercinta.
Jakarta, 26 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar