Pemberdayaan Ekonomi Petani Tembakau?
Oleh Achsanul Qosasi
Cukup mengharukan. Itulah kalimat yang sangat mungkin muncul dari sebagian publik atas realitas bantuan 270 ekor sapi ke tengah masyarakat Madura dengan alamat petani tembakau di tiga kecamatan (Camplong, Omben dan Skobanah). Bantuan yang bernilai sekitar Rp 3 milyar itu pada dasarnya merupakan dana bagi hasil cukai Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup petani tembakau Madura. Sebuah kebijakan untuk mengalihkan sektor kegiatan dari pertanian ke peternakan? Dan yang jauh lebih penting, bagaimana mengefektifkan program bantuan Dinas Peternakan Pemprov. Jatim itu?
Agak unik memang jika kita analisis “warna” kebijakan bantuan sapi itu. Sebab, terlihat indikasi kontras “penyeberangannya”. Dengan sederhana, kebijakan itu dapat kita “konfrontir”dengan uji pertanyaan, “Jika memang ingin memberdayakan masyarakat petani tembakau, mengapa bukan jenis bantuan yang – secara langsung – menyentuh sektor pertaniannya, mulai dari varietas unggul tembakau, perluasan lahan untuk tembakau, dan lainnya yang dapat menunjang produktivitasnya. Dari keunikan ini, kita dapat membaca sisi lain: bantuan sapi itu – sangat boleh jadi – dipaksakan. Atau, memang untuk “menghabiskan” anggaran.
Penilaian itu bisa dinilai berlebihan atau overprojudice. Dengan kaca mata positivistik, kita dapat membaca bahwa kalangan petani tembakau – ditambah unsur keluarganya – relatif masih punya waktu luang. Jadi, terdapat nuansa pemikiran bagaimana mengisi waktu secara maksimal: di satu sisi, tetap aktif dan produktif di sektor pertaniannya (tembakau), di sisi lain, berhasil mengembangkan budidaya sapi, mulai dari penggemukan, perah susu, sampai kemungkinan kegiatan sapi potong dan akhirnya “ekspor” ke tingkat lokal atau negeri lain.
Kiranya, konsep maksimalisasi itu sungguh berarti bagi upaya meningkatkan taraf hidup keluarga petani. Sebuah catatan, mengapa para petani tembakau yang mendapat bantuan? Dengan sederhana kita dapat mencatat bahwa alamat bantuan (petani tembakau) ini merupakan sikap terima kasih yang bersifat timbal balik antara kepentingan produsen rokok dengan para pemasok bahan baku yang memang berasal dari petani tembakau. Sikap “terima kasih” para produsen rokok perlu kita apresiasi secara positif-konstruktif. Dengan apresiasi itu, kegiatannya di sektor pertanian tembakau tetap semangat dan produktif. Dan kian semangat sejalan dengan adanya apresiasi (bantuan sapi) yang ternyata diprediksikan dapat menaikkan taraf hidup keluarga petani tembakau itu.
Sebuah sikap “politik” yang harus dibangun adalah bagaimana merancang-bangun bantuan sapi dapat menjadi faktor penggerak ekonomi ke masyarakat lain, baik petani tembakau dan non tembakau, keluarga penerima bantuan dan selain penerima. Ada efek sosial-ekonomi yang terlihat jelas. Sebuah gambaran konkretnya adalah, kegiatan penggemukan apalagi sampai pada kegiatan perah susu, hal ini praktis memerlukan sejumlah tenaga. Dari pemikiran ini, maka muncul pemikiran, apakah 90 ekor yang siap dibagikan ke setiap kecamatan itu harus dibagi habis ke setiap individu petani tembakau, atau dihimpun menjadi tiga kelompok, misalnya?
Jika konsepnya “himpunan” dan hal ini pemiliknya tetap para petani tembakau yang memang menjadi penerima, maka akan terjadi kekuatan ekonomi strategis yang akan segera menggeliat. Kegiatan penggemukan, misalnya, terpantau dengan baik dan hal ini berpotensi bagus bagi posisi harga per ekornya. Jika programnya sampai pemerahan susu, hal ini akan jauh lebih baik pendapatannya. Bukanlah tak mungkin, hasil perah susu dari himpunan petani sapi ini akan menjadi pemasok utama industri-industri susu olahan. Di sanalah kita dapat bayangkan efek ekonomi yang dapat memberdayakan, tidak hanya bagi penerima bantuan sapi itu, tapi juga masyarakat lainnya.
Kini, yang perlu kita bangun adalah, bagaimana model apresiasi produsen rokok itu juga diikuti oleh sejumlah produsen lain, sehingga para petani di sektor apapun dapat lebih meningkat lagi taraf hidupnya. Tak dapat disangkal, model apresiasi dapat berjalan efektif dan maksimal jika terdapat kondisi ketergantungan. Kondisi ini sesungguhnya bisa juga terjadi di luar produsen rokok. Sebagai ilustrasi faktual, produsen makanan dan atau minuman, hampir seluruhnya membutuhkan pasokan bahan baku dari kalangan petani.
Realitas pasokan bahan baku itu harusnya dapat dikonstruksi dalam format kebijakan agar produsen pangan manapun senantiasa bergantung pada kegiatan petani. Di sinilah urgensinya membangun sistem pasar terkendali, bukan dalam kerangka memonopoli barang pertanian, tapi pengaturan agar hasil pertanian mempunyai nilai tawar yang relatif lebih baik di mata industri makanan dan minuman. Sistem pasar terkendali itu bisa terwujud jika Pemerintah bersama petani mampu menset up produk pertanian dan sistem distribusinya. Inilah tantangan tidak mudah, karena – di hadapannya – senantiasa hadir tengkulak di sentra manapun. Di sisi lain, tidak mudah pula sebagian besar masyarakat petani dirancang untuk membangun lembaga tertentu seperti koperasi. Sebagian mereka belum menyadari arti dan peran strategis kelembagaan ekonomi yang sesunguhnya dapat meningkatkan posisi tawarnya, sehingga berpotensi untuk menaikkan taraf hidup keluarganya. Mereka yang tercatat petani sudah saatnya terjauh dari status miskin sebagaimana yang kita kenal selama ini.
Karenanya, program bantuan sapi – atas kerjasama produsen rokok atau siapapun – sungguh bermakna konstruktif untuk meningkatkan taraf hidup keluarga petani. Kini, sebuah urgensi yang harus dilakukan adalah bagaimana mengefektifkan bantuan sapi itu. Dalam hal ini ada beberapa hal mendasar yang harus kita catat, bagaimana sasaran penerimanya. Sebuah sikap yang harus disikapi serius adalah jangan sampai terjadi kolusi sehingga tidak terjadi penerima rangkap, karena faktor hubungan keluarga dan hal-hal lain yang menyalahi tujuan utama banguan itu. Dalam hal ini, masalah pengawasan menjadi krusial.
Langkah pengawasan menjadi agenda inheren sejalan dengan masih kuatnya budaya penyalahgunaan sejumlah oknum. Karenanya, ada beberapa komponen yang perlu dilibatkan dalam gerakan pengawasan itu. Dalam hal ini masing-masing Dinas Peternakan Kabupaten perlu memantau arus barang (bantuan sapi) apakah benar-benar sampai ke alamat yang dituju. Masyarakat awam dan pers pun perlu ikut memantaunya. Dan yang cukup strategis perannya adalah aparat kepolisian. Mereka perlu diajak “kerjasama” untuk ikut memantau kinerja distribusi bantuan sapi itu. Jika memang menyalahi prinsip utama, kiranya perlu tindakan tegas. Kriminalisasi adalah tindakan prosedural, bukan semata-mata penegakan hukum, tapi idealitas peningkatan taraf hidup masyarakat.
Akhirnya, bantuan sapi kepada petani tembakau – secara teoritik – bisa memberi makna konstruktif, tidak hanya para petani tembakau, tapi siapapun yang terlibat dalam kegiatan ekonomi peternakan itu. Dan yang teramat penting adalah bagaimana bantuan sapi itu menjadi model pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. Inilah sikap pro-poor yang lebih riil, bukan hanya cuap-cuap. Sebuah kerja nyata.
Jakarta, 17 Mei 2010
AQ: Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat